Mediasuararakyat.com – Karawang, Jawa Barat | Hibah di definisikan secara tekstual adalah pemberian sukarela (tidak mengikat) yang mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain, dan memberikan manfaat berupa kebahagiaan bagi penerima hibah serta mempererat hubungan antar pihak.
Dalam narasinya Dadan Suhendarsyah, Tuhan menciptakan mahluk di bumi ini secara berpasang-pasangan. Lelaki dan perempuan. Kaya-miskin, dan seterusnya. Dari kodrat itulah kehidupan di bumi ini bisa berlangsung dalam keteraturan. Andai hanya satu jenis kelamin yang diciptakan, maka tak akan pernah ada keberlanjutan keturunan. Punah. Andai semua manusia kaya raya, Lalu siapa berkenan jadi karyawan yang menggerakkan mesin, buruh tani yang menggarap ladang sawah, atau ASN yang meladeni masyarakat?
“Artinya Yakin, semua manusia akan memilih jadi majikan, bos besar, yang cukup dengan ongkang-ongkang kaki bisa mendapatkan semuanya. Tapi, jika semua menjadi majikan atau bos besar atau Tuan Tanah, maka dipastikan peradaban sudah berhenti.” papar dadan pada
mediasuararakyat.com via whatapps, Kamis (02/03/2023).
Menurut dadan setidaknya, saat ini ada 3 hal yang menjadi trend obrolan Warga Karawang.
Pertama, tentang Hibah Pemkab ke Institusi Vertikal di Luar Karawang. Dari kacamata aturan dan mekanisme, sebagian besar publik menyadari bahwa kebijakan tersebut tidak salah. Sebagian besar berpendapat seperti itu, dan sebagian kecil lainnyanya justru berpikir ada pelanggaran. Respon terbalik diperlihatkan saat publik bersandar pada asas penyusunan anggaran, terutama dari asas proporsionalitas, transparansi apalagi kepatutan/ kepantasan.
Semua mengakui bahwa Tanah Karawang ini kaya raya, pun demikian dengan Sumber Daya Manusianya. Catatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang mencapai 1 trillun lebih, menegaskan betapa kayanya tanah pangkal perjuangan.
Namun lucunya, dalam beberapa tahun ini kebutuhan-kebutuhan pembangunan pokok, seperti infrastruktur jalan, saluran irigasi, bangunan sekolah, jeratan rentenir/ Bank Emok, dan pengangguran, masih jadi topik utama keluhan warga masyarakat. Pemkab berdalih bahwa program-program tersebut sedang direalisasikan secara bertahap, tidak bisa diselesaikan tahun ini karena Keterbatasan Anggaran. Nah, mari sederhanakan pikiran kita.. untuk mengcover kebutuhan pembangunan pokok diinternal Karawang saja masih dihadapkan persoalan keterbatasan anggaran, lalu logika apa yang dipakai PemKab dalam case HIBAH untuk pembangunan fasilitas pelengkap institusi di luar teritorial Karawang?
Kedua, tentang musim jalan dan bangunan sekolah rusak. Obrolan tentang hal ini sangatlah klasik, wajarnya menjadi bahan diskusi puluhan bahkan ratusan tahun lalu, dan bukan di Karawang yang kaya raya. Mungkin betul juga alibi pemerintah, bahwa penyebabnya adalah tingginya curah hujan, banjir kiriman dan faktor alam lainnya.
Ketiga, kejadian kiriman Kotoran kambing ke beberapa fraksi DPRD. Aksi yang melukai asas kepatutan/ kepantasan, bisa dikategorikan menghina lembaga resmi negara, mungkin tak jauh beda dengan kebijakan hibah Pemkab ke institusi luar daerah, di tengah situasi rakyat yang masih berharap keberpihakan Pemkab menyelesaikan pembangunan pokok di internal Karawang. Hanya pelaku dan korbannya berpindah posisi saja.
Selanjutnya kata dadan, Catatan sejarah bahwa tokoh sekelas H. Agus Salim saat berpidato di depan halayak diteriaki suara kambing: mbek.. mbek.. mbe!!. Tentu sebagai manusia, Agus Salim bereaksi. Tidak dengan menumpahkan amarah kepada orang yang mengejeknya, cukup ditanggapi santai: “Sungguh menyenangkan kambing-kambing pun mendatangi ruangan ini untuk mendengarkan pidato saya. Sayangnya mereka kurang mengerti bahasa manusia sehingga menyambut dengan cara yang kurang pantas. Bermimpi agar legislatif lebih berdaya guna, memiliki marwah dan lebih berwibawa saat berhadapan dengan pihak ekskutif (Bupati).” pungkasnya. (tgh)