“Kampus adalah tempat menggelengkan kepala. Kampus bukan gereja, bukan masjid, bukan vihara, dimana kitab suci tidak boleh dipertanyakan. Kampus adalah buku terbuka yang harus dipertanyakan isinya oleh setiap civitas akademika,”.

― Rocky Gerung ―

Saya berdiskusi ringan dengan salah satu kandidat dekan di fakultas dimana saya mengajar yaitu Fakultas Hukum dan Sosial UNMA Banten yang kebetulan baru saja Ia mengikuti pelaksanaan fit and proper tes calon dekan (pada Hari Jum’at Tanggal 14 Juli 2023 lalu).

Dia berujar kata panelis, saya terlalu tinggi ekspektasinya. Terserah penilaian Panelis. Saya mah sekedar berbagi pengetahuan dan pengalaman.

Sengaja saya tawarkan standar tinggi, untuk ikut wujudkan visi universitas terkemuka. Saya kira itu bukan jargon bagi Sivitas Akademika. Bukankah pikiran boleh radikal tapi implementasinya moderat. ujarnya.

Maklumlah beliau adalah lulusan Doktor di Prancis, Master and Doctoral of Human Sciences 1992-1996, Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, dan EHESS Paris, France, Formation de Doctorat en Histoire et Civilisations.

Saya bilang ke beliau, “bukankah pemimpin idaman adalah pemimpin yang sedikit memberi janji tapi banyak mewujudkan ekpektasi”.

“Merdekalah sejak dalam pikiran. ungkap saya.

Saya juga bilang ke beliau, “hadir-nya Bapak sebenarnya adalah untuk mengkonfigurasi ulang atau me-reinstall pikiran para panelis tentang membangun kampus.

Karena bagi saya FHS membutuhkan pamor, leadershif, pengalaman, integritas. Agar dapat berlari meningkatkan akreditasi, menambah jumlah mahasiswa, S3-nya Dosen-dosen, dll.

Civitas akademika fakultas sudah sejak lama ingin berubah ke arah yang lebih baik. Kayanya mesti ada dekan keren dan tentunya yang direstui oleh BPU dan PBMA.

Tapi sayang memang, dari semenjak sidang senat fakultas ternyata kita lebih menyoal administrasi ketimbang substansi. Muter-muter ribet dan bawelnya menyoal administrasi.

Berbelit-belit mempersoalkan perkara administrasi untuk cari pembenaran. Mempersoalkan jati diri, asal usul, teknis administrasi, dsb.

Saya malah tidak pernah memikirkan apalagi mempersoalkan nasab.Bagi saya, kampus sejatinya adalah tempat berkumpulnya para akademisi yang (seharusnya) lebih banyak bicara subtansi, pemahaman pelaksanaan manajemen bersih dan baik (good governance), serta tempat mendidik generasi yang akan mengisi pembangunan di berbagai bidang. Alangkah mirisnya bila di tempat penuh harapan itu malah mempersoalkan jati diri, asal usul, nasab, dsb tentunya praktik itu bertolak belakang dengan norma dan etika akademik.

Konsep berbasis kuantitatif dalam pemilihan dekan juga harus dipikirkan kembali. Mengapa? Karena pencantuman angka itu akan menggiring sistem pemilihan dekan ke arah pemenangan berbasis pada perolehan suara dan nilai-nilai subjektifitas dari BPU yang tidak jelas.

Para pemilih atau stakeholder sejak awal sudah berpikir sangat kuantitatif. Berusaha sekuat tenaga agar calon yang mereka usung selalu mendapat nilai perolehan suara tertinggi di senat fakultas.

Begitu juga sang calon dekan (cadek) memutar otaknya agar di setiap tahap dia mendapat angka lebih dari kandidat lain sehingga, baik pemilih ataupun kandidat, dua-duanya tergiring pada suara terbanyak.

Sangat kuantitatif. Tidak jarang aspek kualitas menjadi terpinggirkan, diganti dengan aspek politis. Bahkan di tahap awal, yakni proses penjaringan sekalipun, kandidat dan stakeholder mulai berkampanye untuk memperoleh suara terbanyak.

Akhirnya para cadek mempunyai tim sukses. Tidak jarang para tim itu mengklaim dirinya paling dekat dengan Rektor.

Kondisi ini membuat pemilihan pimpinan akademisi itu mirip pilkada. Ketika suara sudah mengerucut, nuansa politik tidak berhenti.

Catatan Kritik

Ada 4 (Empat) catatan kritis penulis dalam mimbar tulisan Hiruk Pikuk Pemilihan Dekan ini:

Pertama, menindaklanjuti pelaksanaan fit and proper tes calon dekan pada Hari Jumat Tanggal 14 Juli 2023. Tentunya Badan Penyelenggara Universitas (BPU) berkewajiban menshare secara transparan nilai (narasi rilis) dari fit and proper tes calon dekan. Agar Seluruh kegiatan fit and proper tes calon dekan dilaporkan kepada khalayak dengan tata cara yang berintegritas, independen, dan profesional. Atau bila perlu hilangkan angka-angka kuantitatif. Tidak perlu ada hak persentase atau berapa pun. Intinya jangan memunculkan angka dalam hak BPU. Hal itu bertujuan untuk menghindari kesan pildek adalah demokrasi politik.

Kedua, dari awal seharusnya buka informasi penjaringan bakal calon melalui berbagai media internal dan eksternal kampus, termasuk media sosial dan media cetak, agar Hiruk Pikuk Pemilihan Dekan lebih menarik.

Ketiga, seharusnya dalam proses penjaringan bakal calon dilakukan totalitas berbasis portofolio kandidat. Bukan melulu calon dekan di tugaskan menyiapkan slide pemaparan visi misi, program peningkatan mutu, program peningkatan kreatifitas, prestasi sivitas akademika fakultas, dan program islam dan ke-Mathlaul Anwaran. Tapi lebih kepada kualitas pengalaman, kejelasan arah pemikiran bakal calon dalam strategi pengembangan fakultas menghadapi berbagai persoalan internal dan eksternal kampus.

Keempat, bila diperlukan input sivitas akademika (dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa), dapat dilakukan debat, diskusi dan tanya jawab tetapi tidak perlu ada pemungutan suara. Tim penilai tetap berprinsip pada kualitas bakal calon untuk mendapatkan tiga atau dua bakal calon menjadi cadek. Pola inilah yang penulis sebut dalam proses sidang senat fakultas tempo hari, yaitu demokrasi intelektual kualitatif, bukan politis kuantitatif.

Dengan demikian, mindset demokrasi politis kuantitatif yang di-trigger oleh penilaian BPU yang tidak jelas dan akan tergantikan oleh proses kualitatif dan akademik. Dari segi kualitas, pola ini akan jauh lebih baik, mencirikan budaya akademik di masyarakat ilmiah.

Menyoal Kinerja BPU?

Parameter kinerja Badan Penyelenggara Universitas (BPU) tentunya telah diatur dalam kode etik penyelenggara universitas ataupun statuta.

Penulis mencoba membaca dan memahami SK Rektor Nomor 1- 31/SK/UNMA/V/2023 tentang pemilihan dan pelantikan Dekan di lingkungan UNMA Banten, dan di situ penulis menemukan istilah BPU. Tentunya hal itulah seharusnya menjadi pedoman bagi seluruh Badan Penyelenggara Universitas dalam bekerja.

Rumusnya, setiap penyelenggara pemilu seharusnya memegang teguh prinsip moral dan etika dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam menyelengarakan pemilu. Sehingga muara dari kinerja ataupun integritas penyelenggara pemilu kemudian melahirkan wibawa kelembagaan penyelenggara pemilu yang akuntabel sesuai dengan peraturan dan regulasi yang mengaturnya.

Hanya saja, penulis mempertanyakan kinerja dan integritas dari Badan Penyelenggara Universitas ini? Apakah mereka bekerja sebagai kebutuhan atau sekadar melepaskan kewajiban? Perlu di ingat! Kinerja dan integritas itu adalah satu hal yang sangat penting untuk dijadikan dasar perilaku setiap penyelenggara pemilu. Logikanya dari awal BPU itu harus mempunyai integritas lebih dari para peserta seleksi, yang dalam menjalankan tahapan seleksi bebas pengaruh dan intervensi dari pihak manapun. Integritas ini wajib dimiliki karena BPU akan menghadapi berbagai tekanan, godaan dan lobi dari para peserta seleksi, elit-elit politik serta dari kerabat atau saudara, ataupun titipan-titipan dari organisasi yang telah membesarkan nama anggota tim seleksi BPU.

Pemilihan dekan merupakan sarana perwujudan kedaulatan civitas akademika guna menghasilkan dekanat yang demokratis.Penyelenggaraan pemilihan seyogyanya dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Dan itu dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilihan yang mempunyai integritas, profesionalitas dan akuntabilitas.

Dan ada beberapa hal yang harus menjadi pertimbangan tim BPU dalam menilai adalah pertama, Kompetensi, yaitu pengetahuan peserta tentang regulasi-regulasi kampus. Pertimbangan kedua Integritas, ini merupakan syarat kunci. Karena bila pemilu kita ibaratkan pertandingan bola, maka BPU sebagai wasit harus tegas menegakkan aturan hukum dan etika pemilu, tidak boleh goyah sedikitpun akan godaan berbagai pihak. Ketiga adalah Kepemimpinan, BPU harus menilai jiwa leadership kandidat. Terakhir pertimbangan independensi, budaya dan kondisi sosial masyarakat kita yang masih memandang senioritas dalam berorganisasi, sikap ewuh-pekewuh pada orang yang lebih tua/saudara, balas jasa/budi membuat kata independen ini sulit dipraktekkan. Namun suka tidak suka penyelenggara harus independen dalam arti saat mengambil keputusan murni hasil pleno tanpa terikat atau terpengaruh oleh pihak manapun. Termasuk intervensi dari siapapun.

Untuk itu penulis menekankan, tentunya Badan Penyelenggara Universitas (BPU) berkewajiban menshare secara transparan nilai dari fit and proper Tes Calon Dekan. Agar Seluruh kegiatan fit and proper tes Calon Dekan dilaporkan kepada khalayak dengan tata cara yang berintegritas, independen, dan professional.

Kecurigaan Berlebihan

Kita semua sepakat bahwa pemilihan dekan seyogyanya berlangsung fair play, tidak ada usaha tekan menekan. Kecurigaan terlalu berlebihan bila Kampus sengaja mengondisikan agar Dekan UNMA itu harus berlatar belakang ‘orang-orangnya rektor’. Pernyataan demikian sebenarnya tengah menghina kredibilitas almamater sendiri, sesuatu yang dijaga dan dijunjung tinggi oleh ribuan civitas academika UNMA. Nilai egalitarian dan kejujuran akademik adalah pertaruhan paling tinggi bagi sebuah kampus, dan menuduh civitas Academica telah diarahkan untuk memilih salah satu kandidat jelas menjatuhkan marwah civitas Academika.

Penulis terkenang dengan kepemimpinan Almarhum Prof. Dr. M. Bambang Pranowo (Rektor UNMA Tahun 2012/2013 s.d 2015/2016) meminjam tiga prinsip pakar manajemen Jepang Fukuyama, yaitu kaya gagasan, networking dan trust (amanah), berbagai masalah yang selama ini membelit UNMA segera harus bisa diselesaikan. Selain prinsip dari Fukuyama, Profesor Bambang juga ingin menjadikan Kesalehan, Kreatifitas dan Cinta Tanah Air sebagai motto UNMA. Begitupun penulis tertarik dari tulisan keren dari, Drs. Mohamad Zen, MM, Menimbang Kabinet Baru UNMA (di sadur dalam Buku Bunga Rampai UNMA Menatap Perubahan), secara manajerial, Prof Bambang juga memiliki prinsip kerja 6 C (enam C) yaitu Continuity (kontinuitas, keberlanjutan), Check and recheck (memeriksa), Consideration (mempertimbangkan), Clarification (klarifikasi), Consistency (konsisten), dan Change (perubahan). Dengan prinsip 6 C itu, maka hal-hal positif yang sudah berjalan di UNMA akan terus dilanjutkan, tidak akan diubah. Ini juga sesuai dengan kaidah al muhafadzatu alal qadimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah (mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik). Namun keputusan yang akan diambil harus di check and recheck. Keputusan yang diambil harus berdasarkan data dan fakta yang benar, jangan mengambil keputusan berdasarkan katanya-katanya, isue bahkan rumor. Keputusan yang diambil juga harus dipertimbangkan matang-matang, jangan ambil keputusan cepat tapi fatal akibatnya, karenanya perlu consideration kemudian diklarifikasi (clarification). Dalam dunia jurnalistik, klarifikasi ini dikenal sebagai cover both side (mencakup kedua sisi). Artinya, jika ada pengaduan dari satu pihak, jangan langsung diambil sebagai bahan keputusan, namun pihak yang diadukan perlu diklarifikasi kebenarannya. Keputusan juga harus dilaksanakan secara konsisten (consitency) sehingga jika harus melakukan perubahan (change) segala sesuatunya sudah siap dan bisa berjalan dengan baik.

Kreteria Jabatan Kampus

Bagi saya dekan adalah pemimpin di fakultas, bukanlah jabatan politis seperti pemimpin di pemerintahan. Dekan juga bukanlah jabatan karier, meskipun track record yang baik dan bersih dapat menjadi kunci keberhasilan seorang dekan sebagai pemimpin, disamping aspek yang lain.

Jabatan Dekan hanyalah tugas tambahan dari seorang dosen yang mempunyai tugas pokok melaksanakan tridharma perguruan tinggi. Tugas utamanya tetap sebagai akademisi yang melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi, sekaligus menjalankan sistem birokrasi.Normatifnya, dengan tugas tambahan tersebut Dekan itu lebih besar statusnya sebagai akademisi birokrat dibanding sebagai birokrat akademisi.

Sebagai birokrat di lingkungan akademisi, karakter dan gaya memimpin seorang dekan tentu akan berbeda dengan birokrat sejati seperti di lingkungan pemerintahan. Begitupun dengan jabatan Rektor, lebih berperan bak seorang bapak yang harus mampu dan mau ngemong semua anak-anaknya yaitu dosen di fakultas, karyawan maupun mahasiswa.

Interaksi antara Rektorat dengan unit dibawahnya bukan hubungan antara atasan dan bawahan, tetapi lebih dipersepsikan hubungan diantara satu keluarga besar.

Di situ ada ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani yaitu memberikan dorongan moral untuk memotivasi anak-anaknya agar lebih maju dan bermanfaat bagi orag lain. Secara singkat seorang bapak itu di depan memberi teladan, di tengah memberikan bimbingan, di belakang memberikan dorongan moral, sebagaimana menjadi imam, amir dan khalifah.

Semua masalah keluarga pasti akan dapat ditemukan solusinya jika seorang bapak punya skill to lesson, skill to speak, skill to manage, dan skill to think of future yang visioner yang membawa keluarganya ke arah yang lebih maju kedepan, sebagaimana seorang bapak yang selalu memimpikan anak-anaknya kelak akan hidup sukses dan bahagia.

UNMA di bawah nakhoda Prof. Syibli Syarjaya tentunya memiliki visi serta prinsip dalam bekerja.

Nilai-nilai dasar yang dianut UNMA sudah sedemikian universal, yang menuntut rektor UNMA harus menjadi rektor super meski sederhana tetapi harus mampu mengimplementasikan nilai-nilai kejujuran, keadilan, kemartabatan, kebersamaan dan kemajemukan, keterbukaan, kebebasan akademik dan otonomi keilmuan, profesionalitas dalam menjalankan pekerjaan, rasa tanggung jawab dan akuntabilitas, beretos kerja tinggi, kepatuhan pada aturan, prosedur, dan panduan-panduan UNMA serta panduan-panduan lainnya.

Tapi, saya belum tahu program Rektor UNMA untuk membangun SDM maju dan unggul itu seperti apa?

Mau dibawa kemana UNMA Rektornya Prof. Syibli Syarjaya? Apakah beragam kekhawatiran dan pesimisme di UNMA itu bisa diatasi atau tidak? Wallahu A’lam Bishawab.***

Oleh: Eko Supriatno

(Dosen Biasa di Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathlaul Anwar Banten)

admin

Editor : admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content ini dilindungi.....!!!!