Img 20230827 174030

PENANGANAN sampah di Kabupaten Pandeglang belum dikelola dengan baik. Pasalnya, dari total volume sampah di Pandeglang sebanyak 480 ton per hari, baru 30 persen yang masuk ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sementara 70 persennya, berserakan tak terurus.

Bisa diakibatkan minimnya sarana dan prasarana kebersihan di Pandeglang. Selain itu, kepedulian masyarakat juga masih rendah.

Data dari DLH, saat ini DLH hanya memiliki 25 unit mobil untuk mengangkut sampah se-Kabupaten Pandeglang. Jumlah itu dianggap masih jauh dari ideal. Sebab secara administratif, Pandeglang terdiri atas 35 kecamatan.

Oleh karena itu, seyogyanya warga mengelola sampah secara mandiri. Mengingat jenis produksi sampah terbesar berasal dari sampah rumah tangga. Apalagi dua TPA yang dimiliki Pemkab Pandeglang hanya mampu menampung sampah tiga tahun kedepan.

Pemda seyogianya mendorong setiap kampung di Pandeglang agar mendirikan bank sampah. Karena saat ini baru ada 46 Bank Sampah dari 339 kelurahan dan desa di Pandeglang.

Terkait hal ini ternyata bupati sudah mengeluarkan Surat Edaran yang di dalamnya mendorong camat, Kepala Desa mendirikan bank sampah.

Volume sampah itu terus meningkat setiap tahunnya jika tidak segera ditangani oleh semua pihak. Peran masyarakat sangat penting dalam menekan jumlah sampah. Kita fokus mendorong kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan.

Saat ini Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya dalam mengurangi volume sampah, di antaranya dengan membangun Tempat Pengelolaan Sampah Reduse Reuse Recycle (TPS3R) di 28 titik yang tersebar di masing-masing kecamatan.

Sementara peran masyarakat saat ini didorong dengan memaksimalkan pemanfaatan maggot dan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) demi mengurangi volume sampah.

Jumlah penduduk yang terus meningkat di Banten membawa dampak persoalan sampah rumah tangga atau domestik.

Sudah seharusnya sampah domestik dikelola dengan baik, agar sampah tidak menimbulkan gangguan kesehatan akibat berkembangnya verktor penyakit dan bau.

Permasalahan sampah rumah tangga telah menjadi masalah nasional. Melalui Perpres No 185/2014 tentang Penyediaan Air Minum dan Sanitasi serta pencapaian target nasional Universal Akses 2019, atau dikenal dengan program 100-0-100, pemerintah berupaya mencapai target akses air minum 100 persen, 0 persen pemukiman kumuh, dan 100 persen akses sanitasi termasuk di dalamnya penanganan persampahan. Pengelolaan sampah harus komprehensif dan terpadu.

Dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta utamanya dapat mengubah perilaku masyarakat.

Program tersebut penuh tantangan, utamanya dalam hal penanganan sampah karena masyarakat sebagai penghasil sampah saat ini terkesan antipati dan menjauhi sampah yang dianggap sebagai barang menjijikkan yang harus dijauhi.

Masyarakat belum sadar bahwa mereka sebenarnya ikut andil dan harus ikut bertanggung jawab mengurangi sampah.

Persoalan ini berubah menjadi bom jika melihat kondisi existing Banten, di mana Tempat Pemrosesan Sampah Akhir (TPA) telah banyak yang habis umur pakainya. Pemerintah daerah masih kesulitan menyediakan lahan baru untuk menggantikan lokasi TPA lama yang sudah overload.

Sesuai amanat UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah serta Kebijakan Strategi Nasional Pengembangan Persampahan, paradigma pengelolaan sampah yang tadinya menggunakan azas Kumpul-Angkut-Buang (KAB), sekarang dikembangkan dengan mereduksi timbulan dan pemanfaatan sampah sejak dari sumber, sehingga kapasitas isi di TPAakan jauh berkurang.

Di samping itu, di TPA pengelolaan sampah diarahkan agar tidak lagi menggunakan cara penimbunan terbuka (open dumping) dan beralih kepada control lanfill dan sanitary lanfill.

Pengurangan Kembali

Prinsip pengelolaan sampah konvensional dengan proses kumpulangkut-buang, sudah harus diganti dengan proses pengurangan dan pemanfaatan kembali.

Dengan proses pengurangan dan pemanfaatan kembali melalui program 3-R diharapkan dapat terjadi pengurangan jumlah timbunan sampah di TPA 20-70 persen.

Proses pengelolaan sampah dengan model ini diharapkan menciptakan dampak positif terutama dalam membudidayakan masyarakat sebagai pelaku pengelola sampah.

Sampah di Indonesia umumnya mengandung 60-80 persen bahan asal organik, sehingga dapat digunakan sebagai bahan dasar utama pembuatan kompos.

Dengan proses 3 R diharapkan umur wadah TPA bisa berjangka panjang yakni mencapai bisa mencapai 10 tahun. Pertumbuhan penduduk yang diikuti perkembangan permukiman dan fasiltas, identik dengan meningkatnya produk timbulan sampah, sehingga penanganan diperlukan sejak sampah diproduksi sejak dini.

Salah satu pendekatan adalah Program 3R, yaitu Reuses (penggunaan kembali), Reduce (mengurangi jumlah), dan Recycling (mendaur ulang).

Namun program tersebut belum mampu mengatasi persoalan sampah yang semakin kompleks. Kesadaran masyarakat sebagai penghasil sampah untuk ikut serta dalam upaya pengelolaan sampah masih sangat rendah.

Hal ini terbukti dengan masih banyaknya dijumpai masyarakat yang membuang sampah di sembarang tempat serta tidak peduli dengan lingkungan yang kotor karena sampah.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengajak masyarakat agar sadar terhadap lingkungan dan berperilaku bersih dan sehat, namun hasilnya masih kurang memuaskan.

Tapi konsep 3R belum mampu mengubah pola pikir masyarakat terhadap sampah. Melihat kondisi ini, diperkenalkanlah konsep 7R.

Pengelolaan sampah dengan pendekatan 7-R mungkin belum banyak diketahui. Konsep 7 R berasal dari tujuh kata, yaitu Reduce (Mengurangi), Reuse (Menggunakan kembali), Recycle (Mendaur Ulang), Replace (Menggantikan dengan barang ramah lingkungan) dan Repair (Menggunakan barang yang ada dengan melakukan perbaikan), Re-Sorting (Memilah kembali), dan Responsibility (Bertanggung Jawab dengan limbahnya).

Tambahan 4 R yang masuk dalam konsep 7R lebih bersifat penguatan dan pemahaman kepada masyarakat agar berubah pola pikirnya.

Penajaman konsep 3 R menjadi 7R diharapkan dapat mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat agar sadar bahwa dirinya sebagai penghasil sampah, sehingga harus ikut serta dalam upaya pengelolaan sampah.

Masyarakat harus sejak dini melakukan pengelolaan sampah dengan pemilahan sampah rumah tangga serta menjadikan sampah lebih bernilai guna.***

Oleh: Eko Supriatno
Pengamat Kebijakan Publik, Dosen Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul Anwar Banten dan Pembina Future Leader for Anti-Corruption (FLAC) Banten

admin

Editor : admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content ini dilindungi.....!!!!