Img 20230921 Wa0021

Mediasuararakyat.com – Jakarta | Indonesia dalam bernegara mempunyai ideologi bernama pancasila, di dalam pancasila terdapat 5 sila. Pertanyaan paling fundamentalnya, apakah sila kelima yang berbunyi bahwa “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” sudah terlaksana hari ini? Mari kita renungi.

Satu kasuistik baru yang hari ini masih menjadi sorotan nasional bahkan dunia internasional adalah konflik Pulau Rempang. Dimana kita tau, bahwa konflik tanah di Pulau Rempang tersebut memperlihatkan betapa rumitnya pertarungan antara hak asasi rakyat, ambisi bisnis swasta, dan dilema kepentingan pemerintah.

Sejarah mencatat bagaimana masyarakat adat Pulau Rempang, yang terdiri dari Suku Melayu, Suku Orang Laut, dan Suku Orang Darat, telah bermukim di pulau tersebut sejak 1834. Mereka bukanlah pendatang, melainkan bagian dari warisan budaya dan sejarah bangsa ini. Namun, ironisnya, mereka yang telah berakar kuat di tanah ini, kini terancam oleh kepentingan bisnis dan pemanfaatan tanah melalui Hak Guna Usaha (HGU).

Pemberian HGU kepada pihak swasta tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat lokal adalah bentuk ketidakadilan yang paling nyata dan harus segera diatasi. Terlebih kita mengetahui, bahwa ada indikasi kuat pemegang HGU juga telah melanggar ketentuan dengan tidak memanfaatkan tanah tersebut selama bertahun-tahun lamanya.

Tentu, kami juga sangat menyayangkan sikap pemerintah yang cenderung memihak kepada investor dan mengabaikan hak-hak masyarakat. Seharusnya, disituasi seperti ini pemerintah hadir sebagai mediator yang adil, bukan sebagai pihak yang menambah beban rakyatnya. Menurut kami Ini adalah kesempatan bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmennya kepada rakyat dengan mencabut HGU tersebut dan memberikannya kembali kepada masyarakat adat.

Dalam kasus Pulau Rempang ini, kami melihat Pemerintah sangat egois sekali dengan rakyatnya, sebab hanya memikirikan investasi bagi negara. Kami sangat mengerti bahwa investasi pembangunan yang berujung pada pertumbuhan ekonomi negara adalah sesuatu yang penting, tetapi upaya investasi tanpa memberikan jaminan hak-hak masyarakat adat adalah satu proses yang cacat. Menyelesaikan masalah dengan masalah.

Kalaupun misalnya masyarakat adat Pulau Rempang harus benar direlokasi demi investasi, pemerintah harus berani memberikan jaminan dan rasionalisasinya terhadap masyarakat adat.

UUD 1945 telah diamanatkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya.

Pulau Rempang bagi kami hanyalah cerminan dari banyak kasus serupa yang banyak terjadi di seluruh negeri ini, di mana rakyat kecil sering kali menjadi korban dari kepentingan bisnis dan politik.

Selain itu, peristiwa Pulau Rempang yang tidak luput dari sorotan kami adalah tindakan represif yang dilakukan oleh aparat terhadap masyarakat. Refresifitas dan intimidatif adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Sebagai bangsa yang beradab, hal-hal semacam itu semestinya tidak boleh terjadi. kita harus mampu menyelesaikan konflik dengan dialog dan musyawarah, bukan dengan kekerasan.

Akibatnya, peristiwa 7 September di Pulau Rempang kemarin menimbulkan banyak korban di masyarakat termasuk perempuan dan anak-anak. Dalam pengamanan massa aksi saat itu, kami melihat bahwa Polri terindikasi melakukan pelanggaran SOP yang jelas tercantum di Peraturan Kapolri (Perkap). Pertama; Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Kedua; Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia. Perkap itu menjelaskan bahwa dalam melaksanakan tugas, anggota Polri wajib memenuhi ketentuan berperilaku (Code of Conduct) kepolisian tidak boleh menggunakan kekerasan. Ketiga; Perkap Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak dalam Penanggulangan Huru Hara.

Kami sangat menyesalkan terjadinya bentrok antara aparat dengan warga setempat yang menimbulkan banyak korban tersebut. Polri dan TNI harus memiliki pedoman penanganan konflik yang berperspektif melindungi, bukan melukai.

Dengan tegas, kami meminta pemerintah daerah melakukan pemulihan bagi masyarakat yang mengalami kekerasan dan trauma, termasuk anak-anak yang memerlukan pemulihan khusus.

Kami mengajak seluruh elemen bangsa, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat, untuk bersama-sama mencari solusi yang paling solutif atas konflik tanah di Pulau Rempang. Mari kita tunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah bangsa yang besar, yang mampu menyelesaikan masalah dengan adil dan bijaksana.

Berdasar pada hasil diskusi dan analisis yang sudah kami lakukan dan paparkan di atas, maka kami yang tergabung dalam Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Jakarta Timur (PC PMII Jakarta Timur) menuntut:

  1. Meminta Presiden Joko Widodo Agar Pemerintah dan Aparat Mengedepankan Dialog Terhadap Masyarakat Adat Pulau Rempang.
  2. Meminta Presiden Joko Widodo Untuk Segera Memecat Kapolri Karena Tidak Mampu Menertibkan Bawahannya (Refresifitas) Saat Melakukan Aksi Pengamanan di Pulau Rempang.
  3. Mendesak Komnas HAM Untuk Turun Tangan Langsung Mengawal Hak Asasi Manusia Masyarakat Rempang Sampai Terpenuhi.
  4. Batalkan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Pulau Rempang.

Penulis : Badri Tamami

Penanggungjawab:
Erlangga Abdul Kalam (Ketua Cabang PMII Jakarta Timur)

admin

Editor : admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content ini dilindungi.....!!!!