KITA pernah mendengar, bahwa sebuah barang yang dibeli di luar negeri itu harganya sangat mahal dibanding dengan di dalam negeri. Padahal bahan bakunya  berasal dari Indonesia.

Indonesia kaya dengan bahan baku, apalagi bahan mentah. Semua yang berasal dari alam itu tidak lepas dari faktor Indonesia yang tanahnya subur dan luas. Bahkan, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.

Sumber daya alam Indonesia sangat berlimpah. Baik yang langsung bisa dikonsumsi, juga yang mesti diolah terlebih dahulu. Mulai dari sayuran, perhutanan, hingga pertambangan.

Sayangnya, kemampuan sumber daya manusia untuk mengolahnya belum sebaik kemampuan negara lain. Selain kebiasaan instant, faktor teknologi juga penyebabnya.

Pada negara-negara maju, dengan bantuan teknologi, mereka bisa mengolah sumber daya alam itu menjadi lebih bernilai dan berharga. Dengan begitu, nilai jual melambung tinggi.

Tomat kita petik dari belakang rumah. Lalu dijual kepada pengepul. Dikirim kepada eksportir. Setelah berada di luar negeri diolah menjadi beragam jenis produksi. Harganya tinggi.

Sawit kita panen dari kebun. Dijual ke luar negeri dalam bentuk mentah. Tentu dengan harga standar. Oleh mereka diolah menjadi barang jadi dalam kemasan. Harganya menjadi jauh berbeda.

Nikel begitu berlimpah. Kita cukup menambangnya dari alam. Dikirim ke perusahaan pengolahan. Menjadi bahan dasar baterai mobil listrik. Dibeli oleh Tesla, perusahaan milik Elon Musk, yang juga pemilik Twitter.

Itulah beberapa contoh bahwa kita baru bisa menggarap di tingkat hulu. Belum ke hilir. Hulu itu pangkal. Hilir itu ujung. Hulu itu mentah. Hilir itu barang jadi. Hulu murah. Hilir mahal.

Karenanya, dalam rangka mengubah kebiasan hulu menjadi hilir, kita mengenal istilah hilirisasi. Program unggulan yang gencar  dicanangkan dan digerakkan oleh Presiden Jokowi.

Hilirisasi merupakan ikhtiar untuk mengubah sebuah barang mentah menjadi barang jadi. Sehingga dengan begitu bisa memiliki nilai atau harga yang lebih tinggi.

Bukan hanya memetik, menebang, menambang, lalu mengirimnya. Tapi juga mampu mengolahnya. Mimpinya, barang jadi ini bukan hanya dipakai didalam negeri. Tetapi juga bisa dikirim ke luar negeri.

Seperti halnya baru-baru ini, ketika Presiden Jokowi memuji dan memamerkan produk kopi yang sudah siap saji dalam kemasan yang menarik, produksi salah satu pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Banten.

Kopi dengan label “Haji Rocker” dengan berbahan baku dari kebun di Banten ini, merupakan upaya hilirisasi dalam skala yang lebih sederhana. Mengubah biji kopi menjadi siap saji.

Kopi siap saji dengan kemasan menarik, tentu berbeda harganya dengan biji kopi mentahan. Tentu nilai jualnya akan lebih rendah bila dijual dalam bentuk mentahan.

Hilirisasi dalam skala besar yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan besar dengan melibatkan teknologi maju, seperti halnya pertambangan nikel untuk keperluan tenaga mobil listrik.

Atau seperti rencana membangun pabrik kaca terbesar kedua di dunia yang rencananya akan didirikan di Pulau Rempang Kepulauan Riau yang pekan ini sedang ramai diperbincangkan.

Proyek hilirisasi besar-besaran dalam balutan Program Strategis Nasional ini rencananya akan dikerjakan oleh perusahaan PT. Mega Elok Graha, anak perusahaan dibawah Group Artha Graha, punya Tommy Winata.

Demi rencana besar ini, penduduk satu pulau mesti direlokasi. Dalam skenarionya, akan didirikan perusahaan yang memproduksi kaca dengan mempekerjakan ribuan tenaga kerja.

Dengan begitu, program hilirisasi bukan hanya untuk mengubah nilai jual sumber daya alam menjadi lebih berharga, tetapi juga terbukanya banyak lapangan pekerjaan.

Tapi, program hilirisasi ini mesti merelokasi penduduk ke tempat lain, sementara mereka sudah puluhan bahkan ratusan tahun menetap disana, taruhannya terlalu besar.

Bahwa setiap proyek besar berdampak terhadap hajat hidup warga-bangsa, seperti halnya Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah yang menenggelamkan 37 desa di 7 kecamatan, itu fakta.

Atau Waduk Karian di Lebak Banten. Bendungan yang diproyeksikan menjadi terbesar ketiga di Indonesia ini, setelah Jatiluhur dan Jatigede, dengan luas hampir 3.000 hektar dan daya tampung air 314 juta m3, menenggelamkan puluhan desa.

Ribuan penduduk mesti direlokasi. Padahal, mereka hidup disana secara turun-temurun. Ada rumah, tempat ibadah, madrasah, pekerjaan, budaya, bahkan makam leluhur yang mesti angkat kaki dari sana.

Rempang bergejolak. Demi program hilirisasi, mesti banyak yang terusir dari sana. Mereka yang selama ini hidup tenang damai, menyatu dengan alam, kini terusik dan terusir.

Bahwa hilirisasi itu program bagus, mesti kita dukung. Tapi bila atas nama hilirisasi ada yang terluka, terusir, dan tercerabut dari budayanya, maka taruhannya terlalu besar.

Hilirisasi mesti memerhatikan aspek humanisme. Juga program dan proyek besar lainnya, mesti mempertimbangkan kemanusiaan. Pembangunan yang memanusiakan manusia.

Bila demi sebuah “nilai tambah” mesti mengorbankan rasa kemanusiaan, sejatinya kebahagiaan itu bukan semata diukur dari seberapa besar kita punya harga.

“Dengan begini saja kita mah sudah merasa bahagia” adalah cara sederhana untuk memaknai kehidupan. Bukan dengan ukuran teknologi canggih, dengan mengatasnamakan hilirisasi.

Apalagi dilakukan dengan cara-cara kekerasan dalam rangka mengusir paksa warga setempat untuk hengkang dari kampung halamannya, dari ingatannya, dari kenangan masa kecilnya.

Gas air mata yang digunakan oleh aparat, bukan hanya membuat warga mengeluarkan air mata. Tidak hanya membuat pedih mata. Tapi juga pedih hatinya. Mesti terusir dari tanah kelahirannya.

Rempang, merupakan sebuah potret dimana demi sebuah harga, yang terpaksa mesti ditebus dengan harga diri, yang sejatinya tidak ternilai harganya.***

Rempan: rasa khawatir (Sunda Banten)

Pasirgintung, 12 September 2023

Oleh: Ocit Abdurrosyid Siddiq

Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas). FORDISKA LIBAS merupakan lembaga perkumpulan di Banten yang menghimpun para pemikir dan cendekiawan dengan latar belakang beragam. FORDISKA akronim dari Forum Diskusi dan Kajian. LIBAS akronim dari Liberal Banten Society. LIBERAL adalah akronim dari  Lintas Iman, Budaya, Etnis, Ras, Agama, dan Lainnya

admin

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content ini dilindungi.....!!!!