Img 20240602 Wa0226(1)

Oleh: Eko Supriatno

Bayangkan sebuah bangunan megah, kokoh berdiri dengan tiang-tiang penyangga yang kuat. Ia menjadi simbol keagungan, tempat berlindung, dan pedoman bagi setiap insan yang bernaung di bawahnya. Namun, apa jadinya jika tiang-tiang itu satu persatu digerogoti rayap, keropos dimakan zaman, dan akhirnya runtuh tak bersisa?

Itulah gambaran pilu yang kini membayangi konstitusi, landasan hukum tertinggi sebuah negara. Seharusnya ia menjadi benteng kokoh yang menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Namun, realitas berkata lain. Nafsu kekuasaan yang membara, bagai api yang melahap habis setiap sendi-sendi konstitusi, menjadikannya rapuh dan tak berdaya.

Hukum idealnya menjadi pilar keadilan dan ketertiban. Namun, realitas acap kali menunjukkan wajah yang berbeda. Di bawah bayang-bayang kekuasaan, hukum dapat menjelma menjadi dagelan, sebuah sandiwara yang mengorbankan keadilan demi kepentingan segelintir elit. Tulisan ini akan mengulas fenomena dagelan hukum di bawah lindungan kekuasaan dengan menelaah faktor-faktor penyebabnya, dampaknya terhadap masyarakat, serta solusi untuk mengembalikan marwah hukum sebagai panglima keadilan.

Indonesia, negara hukum yang menjunjung tinggi keadilan dan persamaan di mata hukum, menghadapi tantangan serius dalam mewujudkan cita-cita luhurnya. Praktik hukum kerap kali ternodai oleh intervensi kekuasaan, menciptakan sistem hukum yang timpang dan tidak berkeadilan. Fenomena ini melahirkan apa yang disebut sebagai “dagelan hukum,” sebuah ironi di mana hukum yang seharusnya tegak lurus justru tunduk dan “menari” di bawah kendali kekuasaan.

Kita menyaksikan sendiri bagaimana pasal-pasal yang seharusnya suci dan sakral, kini direduksi menjadi alat pemuas ambisi segelintir elit. Hukum yang seharusnya tajam ke atas dan ke bawah, kini tumpul ke atas dan hanya tajam menghujam mereka yang lemah dan tak berdaya.

Lantas, kemana kita harus mengadu? Bagaimana nasib keadilan dan kesejahteraan rakyat jika konstitusi, pondasi negara, telah luluh lantak? Mari kita telaah lebih dalam, mengurai satu persatu benang kusut yang menjerat konstitusi dan mencari secercah harapan di tengah carut marutnya penegakan hukum di negeri ini.

Luluh Lantak Konstitusi

Angin demokrasi yang dulu berhembus sejuk, kini terasa panas membakar. Janji-janji manis yang dulu ditebar, kini berganti pahitnya pengkhianatan. Konstitusi, yang seharusnya menjadi panduan luhur dan tiang kokoh bagi negara, kini tergoyang di tepi jurang kehancuran. Ia terancam runtuh, diluluhlantakkan oleh nafsu penguasa yang tak terbendung.

Seperti rayap yang menggerogoti kayu dari dalam, keserakahan dan ambisi pribadi perlahan menggerus sendi-sendi hukum. Kepentingan rakyat yang seharusnya dijunjung tinggi, kini terinjak-injak demi memuluskan agenda pribadi dan golongan. Hukum, yang seharusnya menjadi panglima di negeri ini, kini tak ubahnya macan ompong, tajam ke bawah namun tumpul ke atas.

Kita saksikan sendiri bagaimana lembaga-lembaga negara yang seharusnya independen, kini tak lebih dari sekadar stempel bagi sang penguasa. Kritik dibungkam, suara-suara sumbang diredam, dan siapapun yang berani melawan akan dihancurkan. Kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin konstitusi, kini tinggal kenangan.

Rakyat kecil hanya bisa menyaksikan dengan pilu, bagaimana para elite politik yang mereka percaya, justru asyik masyuk dalam pesta pora kekuasaan. Sumber daya alam yang seharusnya menjadi berkah bagi seluruh rakyat, justru dijarah dan dinikmati oleh segelintir orang. Keadilan sosial yang diimpikan, kini terasa semakin jauh dari angan.

Perbincangan tentang Keputusan MA

Perbincangan tentang keputusan MA yang batalkan batas calon kepala daerah berusia 30 tahun saat mendaftar masih menuai polemik.

Pembatalan syarat minimal kepala daerah saat mendaftar itu sendiri tertuang dalam putusan MA nomor perkara 23 P/HUM/2024. Dalam putusan tersebut, MA mengabulkan uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 9/2020 yang diajukan oleh Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana. Dengan putusan itu, MA mengubah ketentuan dari yang semula cagub dan wakil cagub minimal berusia 30 tahun terhitung sejak penetapan pasangan calon menjadi setelah pelantikan calon.

Banyak yang berpendapat, bahkan keputusan ini hanya diubah demi satu orang yakni Kaesang Pangarep yang baru berusia 30 tahun pada bulan Desember 2024. Kaesang sempat digadang-gadang maju sebagai Cawagub DKI Jakarta bersama keponakan Prabowo, Budi Djiwandono.

Sebelumnya, masalah syarat usia ini juga sempat menjadi pembicaraan saat Gibran mencalonkan diri sebagai Cawapres. Pada Oktober 2023 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Pasal 169 huruf q UU No. 7/2017 yang meminta minimal usia capres-cawapres diturunkan, dari yang awalnya 40 tahun menjadi 35 tahun inkonstitusional bersyarat.
Namun demikian, MK memberikan klausul pengecualian sepanjang capres atau cawapres telah menjabat sebagai penyelenggara negara. Artinya, warga negara yang berada di bawah 40 tahun bisa maju sebagai capres dan cawapres selama memiliki pengalaman sebagai kepala daerah atau penyelenggara negara.

Dengan adanya keputusan ini, maka Gibran Rakabuming Raka bisa mencalonkan diri dan menang di Pemilu 2024. Mengacu pada alasan ini, beberapa netizen memberikan sebutan MK sebagai Mahmakah Kakak dan MA sebagai Mahkamah Adik

Asumsi penulis, setidaknya ada beberapa dampak terhadap masyarakat terkait beberapa netizen memberikan sebutan MK sebagai Mahmakah Kakak dan MA sebagai Mahkamah Adik:

Pertama, Meruntuhkan Kepercayaan Publik: Masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap hukum dan aparat penegak hukum.

Kedua, Meningkatkan Ketimpangan Sosial: Hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas semakin memperlebar jurang kesenjangan sosial.

Ketiga, Melemahkan Demokrasi: Hukum yang tidak independen dan berkeadilan mengancam keberlangsungan demokrasi.

Kisah Pelajaran Berharga

Namun, di tengah pekatnya kegelapan, selalu ada setitik cahaya yang menyala. Masih ada segelintir orang yang dengan gigih terus menyuarakan kebenaran, meski nyawa taruhannya.

Mereka adalah para aktivis, mahasiswa, jurnalis, dan rakyat biasa yang menolak untuk diam. Mereka adalah pejuang-pejuang konstitusi yang tak kenal lelah, berjuang demi tegaknya hukum dan keadilan di negeri ini.

Perjuangan mereka tentu tidak mudah. Jalan terjal dan berliku harus mereka tempuh. Intimidasi, ancaman, bahkan kekerasan fisik harus mereka hadapi. Namun, semangat mereka tak pernah padam. Mereka sadar, bahwa perjuangan ini bukan hanya untuk mereka, tapi juga untuk masa depan bangsa dan anak cucu kita kelak.

Memerangi dagelan hukum di bawah lindungan kekuasaan membutuhkan upaya sistemik dan berkelanjutan, antara lain:

Pertama, Memperkuat Lembaga Penegak Hukum: Meningkatkan integritas dan profesionalitas aparat penegak hukum melalui reformasi birokrasi dan peningkatan kesejahteraan.

Kedua, Meningkatkan Pengawasan: Memperkuat peran lembaga pengawas independen seperti Komisi Yudisial dan Ombudsman.
Ketiga, Menegakkan Budaya Hukum: Menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat melalui pendidikan dan sosialisasi hukum sejak dini.

Keempat, Memperkuat Peran Media dan Masyarakat Sipil: Media dan masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mengawasi jalannya penegakan hukum dan mengungkap kasus-kasus ketidakadilan.

Luluh lantaknya konstitusi adalah dagelan hukum di bawah lindungan kekuasaan yang merupakan ancaman serius bagi tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Upaya kolektif dari seluruh elemen bangsa, mulai dari pemerintah, aparat penegak hukum, hingga masyarakat sipil, sangat dibutuhkan untuk memberantas praktik culas ini dan mengembalikan marwah hukum sebagai panglima keadilan. Hanya dengan hukum yang berkeadilan, Indonesia dapat mewujudkan cita-citanya sebagai negara yang maju, adil, dan sejahtera.

Luluh lantaknya konstitusi adalah alarm bahaya bagi kita semua. Ini adalah panggilan untuk bangkit, untuk bersatu padu melawan tirani dan kesewenang-wenangan. Kita harus kembali menegakkan konstitusi sebagai panglima tertinggi di negeri ini. Kita harus memastikan bahwa hukum ditegakkan seadil-adilnya, tanpa pandang bulu.

Ingatlah, ketika konstitusi telah luluh lantak, maka yang tersisa hanyalah kehancuran. Mari kita jaga dan rawat bersama demokrasi yang telah susah payah kita raih ini. Mari kita perjuangkan tegaknya hukum dan keadilan, demi masa depan Indonesia yang lebih baik.

Kisah pilu tentang luluh lantaknya konstitusi di tangan para penguasa yang rakus akan kekuasaan menjadi pengingat akan betapa rapuhnya sendi-sendi negara hukum. Ketika hukum takluk pada nafsu, keadilan pun tergadaikan, dan rakyatlah yang menanggung derita.

Perjuangan untuk menegakkan kembali konstitusi dan mengembalikan hukum pada tempatnya bukanlah perkara mudah. Ia menuntut keberanian, integritas, dan persatuan dari setiap elemen bangsa. Kita, sebagai warga negara yang memegang teguh nilai-nilai luhur Pancasila, memiliki kewajiban moral untuk melawan segala bentuk penindasan dan penyelewengan kekuasaan.

Semoga kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Bahwa kekuasaan yang tidak dibatasi oleh hukum dan moral hanya akan melahirkan tirani. Mari kita jaga bersama konstitusi sebagai pondasi negara hukum yang berkeadilan.

Mari kita rawat demokrasi dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan mengedepankan kepentingan rakyat di atas segalanya. Hanya dengan begitu, kita dapat mewujudkan cita-cita bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.***

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathlaul Anwar Banten

admin

Editor : admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content ini dilindungi.....!!!!