Beberapa waktu lalu, dalam sebuah perjalanan antara Bandung dan Subang, tepatnya di daerah Ciater Subang, terjadi insiden kecelakaan yang melibatkan sebuah kendaraan bus, satu mobil jenis minibus, dan beberapa kendaraan roda dua.
Kendaraan bus yang membawa rombongan siswa SMK swasta dari Depok itu berbenturan dengan minibus, kemudian terguling, dan menimpa beberapa kendaraan roda dua yang sedang parkir di pinggir jalan.
Dikabarkan beberapa orang terluka dan ada diantaranya yang meninggal dunia. Korban luka telah ditangani di rumah sakit terdekat, sementara korban jiwa telah dijemput oleh pihak keluarga untuk dimakamkan.
Rombongan siswa SMK yang sedang mengadakan studi tour sekaligus acara perpisahan sekolah itu didampingi oleh beberapa guru. Acara seperti ini sudah lazim dilakukan oleh sekolah sebagai agenda rutin tahunan.
Atas insiden ini, pemerintah daerah lewat Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat langsung melakukan tindakan, dengan cara mengevaluasi urgensi acara perpisahan dalam bentuk studi tour keluar daerah ini. Lalu muncullah narasi bahwa acara seperti ini tidak perlu.
Imbasnya juga terasa ke provinsi tetangga, yaitu Provinsi Banten. Beberapa Kepala Dinas Pendidikan di Kabupaten dan Kota mengeluarkan surat yang menginstruksikan agar sekolah yang akan mengadakan studi tour agar berkoordinasi dengan pihak dinas.
Secara tersirat, himbauan itu bernada larangan bagi sekolah untuk mengadakan studi tour ke luar kota. Disertai dengan arahan agar seluruh rangkaian kegiatan sekolah digelar di sekolah sendiri. Akhirnya bisa disimpulkan bahawa agenda studi tour dilarang gegara rem yang blong.
Lha, ini masalahnya terletak pada program sekolah atau pada kendaraan yang dipakai? Bayangkan, andai kegiatan semacam ini dilakukan oleh rombongan ziarah, lalu mereka mengalami insiden yang sama, lantas MUI melakukan pelarangan terhadap acara tour ziarah. Kumaha sih?
Bila membincang perkara urgent atau tidak perihal “tradisi rutin tahunan sekolah” itu, mari kita telaah secara komprehensif. Jangan hanya memandang bahwa agenda itu hanya bersifat hura-hura dan berbiaya, lalu karenanya dimaknai memberatkan orangtua siswa.
Biasanya, acara tour siswa itu merupakan rangkaian kegiatan akhir tahun bagi siswa kelas akhir. Untuk tingkat SD atau MI biasanya diikuti oleh kelas 6, dan bagi siswa SMP atau MTs, serta SMA, SMK, dan MA, adalah kelas 3.
Kegiatan akhir tahun itu meliputi ujian praktek, ujian tulis, seremoni perpisahan dalam bentuk “wisudaan”, dan jalan-jalan berupa tour tersebut. Karena diantara beberapa rangkaian acara itu tidak bisa dibiayai oleh dana BOS, maka sekolah bersama Komite Sekolah berembug dengan orangtua perihal biaya.
Pihak sekolah dengan Komite Sekolah memberikan keleluasaan kepada siswa dan orangtua perihal agenda yang tidak “menyebabkan siswa tidak lulus hanya karena tidak mengikutinya itu”. Artinya, tidak ada paksaan atau kewajiban untuk mengikutinya.
Keleluasaan ini diberikan dengan menyadari bahwa agenda yang menghajatkan biaya itu bisa jadi memberatkan bagi siswa dan orangtuanya yang memiliki tingkat ekonomi pas-pasan. Jangankan untuk acara tour, untuk biaya makan harian saja kerepotan.
Untuk menyiasati agar para orangtua lebih ringan dalam pembiayaan akhir tahun ini, sekolah biasanya jauh-jauh hari telah merencanakan agenda tersebut. Enam bulan sebelumnya, satu tahun sebelumnya, bahkan ada juga yang merencanakan agenda dimaksud sejak pendaftaran siswa baru, sejak 3 tahun lalu.
Dengan perencanaan yang lebih panjang ini diharapkan para siswa dan orangtua cukup memiliki waktu untuk menabung, menyicil, atau mengangsur, hingga pada akhirnya terkumpul sejumlah uang untuk pembiayaan akhir tahun dimaksud.
Dari aspek pengalaman, tour akhir tahun siswa bersama teman sekolah merupakan moment hidup satu kali dalam seumur hidup. Bagi siswa tertentu, bahkan kesempatan langka itu, bisa healing atau jalan-jalan, menjadi media baginya memiliki pengalaman diluar kebersamaannya dengan keluarga.
Kenangan ini akan terbawa dalam ingatan mereka seumur hidup. Kelak, ada cerita diantara mereka yang bisa dibincangkan bersama saat meretas memori ini. Pastinya, yang tak serta, tak punya cerita seru-seruan semasa sekolah ini.
Dari aspek ekonomi, tentu ada banyak pihak yang mendapat berkah dari kegiatan rutin tahunan ini. Pemerintah yang mendapat pemasukan pajak, perusahaan travel berikut karyawannya, pedagang cenderamata di lokasi wisata, hingga pak ogah dan juru parkir.
Agenda tour rutin tahunan yang diselenggarakan oleh banyak sekolah ini bisa menggerakkan roda perekonomian. Perputaran uangnya begitu masif. Banten ke Jawa Barat. Jawa Barat ke Jawa Timur. Jawa Timur ke Bali. Bali Ke Jakarta. Jakarta ke Banten. Ekonomi berputar.
Selain aspek pengalaman hidup siswa dan perputaran roda ekonomi, masih banyak manfaat positif yang bisa kita ambil dari kegiatan ini. Bila pun dalam pelaksanaannya terjadi peristiwa hal yang tidak diharapkan, seperti insiden kecelakaan, mari kita kita evaluasi. Evaluasi yang tepat.
Insiden kecelakaan di Ciater Subang kemarin itu bukan karena faktor program sekolah, tapi karena faktor sarana yang digunakan. Dalam hal ini kendaraan yang dipakai oleh rombongan siswa tersebut. Atau bisa jadi faktor human error.
Maka, benar kata Sandiaga Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, yang mengatakan bahwa kendaraan wisata mesti melewati uji kelayakan dan memiliki sertifikat laik jalan. Tentu saja dengan pengendara yang tidak ugal-ugalan.
Jadi, kalau karena insiden Ciater lantas Dindikbud Provinsi Jawa Barat mengevaluasi agenda tahunan sekolah itu dengan melarangnya, itu tidak nyambung! Selain tidak nyambung, akan ada banyak pihak yang terdampak dan merugi.
Penulis sepakat bahwa hilangnya nyawa tidak sepadan dengan mereka yang terdampak dan merugi bila tradisi studi tour atau healing akhir tahun ini tetap dilakukan. Namun solusinya itu jangan pakai jurus mabuk. Kendaraan yang tidak laik jalan, atau sopir yang ugal-ugalan, mengapa yang dihapus program?
Kalau itu solusinya, masa iya ketika ada rombongan peziarah mengalami hal yang sama, lalu MUI mengevaluasi dan melarang acara ziarah? Rombongan pengantin mengalami insiden di jalan, masa iya menikah kudu sama tetangga yang cukup jalan kaki? Bus jemaah haji mengalami insiden, masa iya ke bandara mesti pakai kuda?
Saat Penulis membuat tulisan ini di parkiran bus salah satu objek wisata di daerah Lembang Bandung, melintas sebuah bus wisata dengan tulisan “Mari selamatkan anak bangsa dari bahaya kurang piknik!”. Ada benarnya juga ini.***
Oleh: Ocit Abdurrosyid Siddiq
Penulis adalah Anggota Majelis Kebudayaan Banten