Ocit Abdurrosyid Siddiq
Belakangan ini, kita semakin sering dihadapkan pada berita tentang tindakan asusila yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak. Baik beda jenis kelamin maupun sesama jenis. Ulah pedofilia ini kerap dilakukan oleh orang-orang terdekat. Baik ayah kandung terhadap anak, kerabat terhadap anggota keluarga, guru terhadap murid, juga ustadz terhadap santri.
Ada bapak melecehkan anaknya, ada kerabat yang berbuat tidak senonoh terhadap anggota keluarganya, ada guru terlibat skandal dengan muridnya, ada santri dirudapaksa oleh ustadznya, ada anak-anak panti yang mestinya mendapat perlindungan disodomi oleh pengasuhnya.
Kejadian tersebut berlangsung baik di ruang publik juga di ruang privat. Baik di rumah maupun di tempat-tempat yang menyandang citra mulia, seperti di panti asuhan, sekolah, madrasah, pondok pesantren, dan tempat-tempat lainnya.
Perbuatan asusila sendiri sudah masuk kategori tercela. Baik beda jenis maupun sesama jenis. Apalagi perilaku asusila yang dilakukan oleh seseorang terhadap anggota keluarga lainnya. Lebih-lebih praktik inces itu dilakukan dengan sesama jenis. Seperti halnya yang terjadi baru-baru ini di sebuah panti asuhan dengan label yayasan yang sarat norma religius.
Kita kadang gamang, ketika dihadapkan pada peristiwa ulah asusila yang terjadi di lembaga pendidikan. Apalagi di pondok pesantren. Padahal itu sebuah fakta, namun kerap menuai resistensi, tersebab perkara asusila yang notabene sebuah aib melibatkan sosok terhormat seperti ustadz atau kiai, yang notabene panutan para santri.
Adalah fakta bahwa perilaku asusila kadang terjadi pada lembaga mulia itu. Hal ini menunjukkan bahwa muruwah kemuliaan sebuah lembaga tidak selalu linier dengan perilaku. Dengan kata lain, seolah perkara maksiat bukan hanya “pantas” dilakukan oleh seorang durjana. Namun juga kadang dilakukan oleh orang yang selama ini menempati posisi terhormat.
Atas fenomena ini, kita selayaknya lebih memperhatikan lingkungan sekitar. Baik lingkungan keluarga, lingkungan tetangga dan masyarakat tempat anak-anak bergaul, juga lingkungan sekolah tempat anak-anak belajar. Belajar di sekolah, di madrasah, juga di pondok pesantren.
Ada banyak orangtua yang lebih memilih untuk menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah berasrama, yang menerapkan sistem boarding school, dibanding menyekolahkan ke sekolah umum atau madrasah yang hanya menyelenggarakan pembelajaran selama jam belajar. Dimana anak berada di lembaga pendidikan hanya mulai dari pagi hingga siang atau sore bagi yang menerapkan sistem full day.
Setelah jam belajar di lembaga pendidikan usai, anak kembali ke rumah. Lalu mereka beraktivitas di rumah atau di masyarakat. Pola pendidikan seperti ini dianggap sangat mengkhawatirkan karena anak hanya beberapa jam saja di sekolah dan selebihnya bergaul ditengah-tengah masyarakat. Ada kekhawatiran tidak bisa terkontrol.
Karena khawatir salah pergaulan inilah yang menjadi salah satu faktor para orangtua untuk menitipkan anak-anaknya belajar di lembaga pendidikan berasrama yang menerapkan sistem boarding school. Dimana anak-anak selain belajar, juga tinggal atau menetap di asrama tersebut. Seluruh aktivitas anak-anak bisa terkontrol selama 24 jam. Dengan begitu diharapkan tidak salah pergaulan.
Namun dari banyaknya kasus asusila yang terjadi di lembaga pendidikan yang menerapkan sistem boarding tersebut, alih-alih menginginkan anak-anak bisa terkontrol dengan baik, malah dihadapkan pada kondisi yang tidak diharapkan. Orangtua mana yang tidak akan murka manakala anaknya diperlakukan tidak senonoh di lembaga yang semestinya mendidik dan membimbingnya?
Persoalannya, apakah mungkin di lingkungan sarat norma agama muncul perilaku asusila? Bila pun tidak seluruhnya dan karenanya tidak bisa digeneralisir, dengan munculnya beberapa peristiwa serupa menunjukkan bahwa sekolah berasrama pun bisa jadi menjadi tempat yang tidak aman untuk pendidikan anak-anak. Terasa tendensius kan? Masa sih sekolah berasrama dianggap tidak aman bagi pendidikan anak-anak?
Mengungkap perkara ini ke ruang publik bisa jadi menuai resistensi. Namun qulil haq walau kana murran. Saya memilih untuk menyajikan fakta walau ini tidak populis. Karena akan ada banyak bantahan dan sanggahan. Walau hal ini tidak bisa digeneralisir -bahwa tidak semua sekolah berasrama demikian- namun dari beberapa kejadian menunjukkan bahwa perilaku asusila itu juga terjadi di lingkungan tersebut. Sekali lagi, tidak semua!
Anak mondok di sekolah berasrama itu, oleh pengelolanya diatur penempatannya, baik saat belajarnya maupun saat aktivitas lainnya. Anak belajar secara formal di dalam kelas, biasanya disatukan antara yang laki-laki dan yang perempuan. Walau ada juga yang menerapkan pemisahan ruang kelas antara laki-laki daan perempuan.
Mereka yang berbeda jenis kelamin ini bertemu hanya selama berada di dalam kelas. Di luar itu aktivitas mereka terpisah. Asrama tempat mereka istirahat dan tidur, dipisah berdasarkan jenis kelamin. Anak putri dipisah dengan anak putra. Asrama mereka berjarak. Alhasil, intensitas pertemuan mereka lebih sering dengan kawan yang sesama jenis.
Biasanya, anak putra dibagi menjadi beberapa kelompok. Yang junior sejumlah antara 8-20 orang ditempatkan pada satu ruang tidur yang sama dibawah arahan dan bimbingan satu orang siswa senior dan atau satu orang guru pembimbing. Umumnya, tempat tidur mereka masing-masing berbentuk single bed dengan ukuran 200 x 100 cm. Artinya, satu tempat tidur hanya dipakai untuk satu orang.
Sementara penempatan kamar mandi untuk kepentingan mandi, cuci, dan kakus, berada di luar ruang tidur. Fasilitas MCK ini digunakan secara bersama oleh para siswa. Penggunaannya pastinya secara bergantian. Artinya tidak melakukan mandi secara bersama-sama. Karena kalau demikian mereka akan dapat saling melihat aurat yang lain.
Nah, pada situasi seperti inilah yang kemudian menjadi pemicu dan pemantik munculnya perilaku tidak pantas dan sekaligus menyimpang. Anak dalam usia masa sekolah itu rerata sudah baligh, yang artinya sudah memiliki ketertarikan secara syahwat kepada orang lain. Dalam hal ini normalnya adalah kepada lawan jenis. Laki-laki kepada perempuan, pun sebaliknya, perempuan kepada laki-laki.
Namun karena intensitas pergaulan serta persentuhan mereka lebih banyak dengan kawan sesama jenis, dan pada kasus-kasus tertentu memungkinkan mereka bertemu dan bersentuhan secara fisik tanpa penghalang, misalnya melakukan mandi bersama-sama, ditambah dengan pengawasan senior atau guru pembimbing yang tidak maksimal, maka pada celah inilah yang bisa menjadi pemicu terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan.
Banyak contoh perilaku lain yang memungkinkan menjadi pemicu terjadinya praktik penyimpangan tersebut yang tidak elok bila saya mesti kemukakan secara rinci. Termasuk relasi kuasa antara senior dengan junior yang tidak memungkinkan seorang junior untuk berani melakukan perlawanan, berontak, apalagi speak-up. Kondisi ini juga berlaku ketika terjadi tindak kekerasan fisik yang dilakukan oleh senior kepada junior.
Alih-alih berterus-terang dan menyampaikan laporan, karena rasa takut dan bercampur malu tersebab ini termasuk kategori aib, banyak yang lebih memilih untuk diam dan tutup mulut. Bahayanya, perilaku itu kemudian menjadi temurun yang disertai dengan dendam untuk melakukan hal yang sama ketika si junior telah menjadi senior.
Celakanya -dan ini yang sangat mengkhawatirkan- kejadian yang mencuat ke permukaan hanyalah fenomena gunung es. Jumlah peristiwa yang sebenarnya masih jauh lebih banyak dibanding informasi yang terpublikasikan di media. Untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali, saran saya sebaiknya seluruh pihak baik orangtua, pengasuh, dan yang lainnya, untuk meningkatkan pengawasan, arahan, dan bimbingan.
Bagi ayah dan bunda yang memiliki anak, sebaiknya ajak mereka untuk berbicara dari hati ke hati. Baik tentang pencapaian belajarnya, juga tentang pergaulannya. Gunakan insting seorang ayah dan bunda dari bahasa tubuh atau gesture saat anak diajak bicara. Bila ayah bunda bisa menangkap perkara tersirat walau tidak terlontar langsung dari lisan anak, segera ambil tindakan yang tepat. Selamatkan anak-anak kita!
Disclaimer : tulisan ini tidak bermaksud mencitrakan buruk atas lembaga pendidikan. Ini hanyalah upaya pencegahan dini sebelum terlanjur terjadi hal-hal yang tidak diharapkan. Yang tidak kalah penting, kasus sebagaimana contoh diatas hanya terjadi pada segelintir lembaga saja. Masih jauh lebih banyak lembaga yang baik dan berhasil mendidik peserta didik dengan akhlak mulia selaras norma agama.***
Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas)