Oleh: Ocit Abdurrosyid Siddiq
Pegiat Demokrasi dan Pemilu
Dalam sebuah kontestasi demokrasi seperti pemilihan Presiden dan Kepala Daerah, penyelenggara memberikan kesempatan kepada para calon atau kandidat untuk mengenalkan dirinya sekaligus menunjukkan kompetensinya lewat kampanye.
Kampanye merupakan salah satu tahapan dalam Pemilu dan Pilkada, yang memungkinkan para kandidat dapat menyampaikan visi, misi, serta program kerjanya yang akan dia penuhi pada saat kelak terpilih sebagai pemimpin.
Kampanye Pilkada bisa dilakukan dalam beragam bentuk. Seperti pemasangan alat peraga kampanye, pembagian bahan kampanye, pertemuan tatap muka, pemasangan iklan di media, rapat akbar di ruang terbuka, serta debat kandidat.
Seperti halnya debat kandidat yang tadi malam disiarkan langsung oleh beberapa stasiun televisi. KPU Jakarta menggelar debat calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diikuti oleh 3 pasangan calon; Ridwan Kamil-Suswono, Dharma Pongrekun-Kun Wardana, dan Pramono Anung-Rano Karno.
Dengan cara berdebat sesama kandidat, pemilih dapat mengetahui serta menakar kapasitas para kandidat dan penguasaannya atas satu hal. Inilah yang kemudian menjadi dasar dan alasan mengapa seseorang menjatuhkan pilihan pada kandidat tertentu.
Pemilih yang menjatuhkan pilihan pada calon Gubernur dan Wakil Gubernur karena kapasitasnya, masih lebih baik dibanding menjatuhkan pilihan karena semata faktor kedekatan, kekerabatan, apalagi karena faktor fisik, misalnya karena ganteng atau cantik.
Sayangnya, acara debat kandidat yang digelar oleh KPU selama ini, baik untuk calon Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota, belum bisa menampilkan kapasitas para calon secara maksimal. Ini terjadi akibat teknis pelaksanaan acara debat yang masih kaku.
Sekedar mengambil contoh sebagai perbandingan, bila kita menyaksikan debat kandidat Presiden Amerika Serikat, antara Donald Trump dari Partai Republik dengan Kemala Harris dari Partai Demokrat, begitu asik untuk disimak. Mereka bisa mengksplore kemampuannya dengan maksimal.
Acara debat cukup melibatkan 3 orang saja. Ya, 3 orang, terdiri dari Trump, Harris, dan moderator. Jalannya perdebatan mengalir tanpa aturan teknis yang malah bisa membuat acara debat kandidat menjadi kaku.
Sang moderator memulainya dengan melontarkan pertanyaan kepada salah satu kandidat. Pertanyaan itu tentu saja diawali oleh sejumlah fakta dan argumentasi, sehingga menjadi alasan mengapa hal itu penting untuk ditanyakan.
Pada aspek ini, pastinya sang moderator telah lebih dahulu mempelajari dan menguasai perkara dimaksud. Hal ini juga menunjukkan bahwa sang moderator merupakan sosok yang cerdas dan sarat dengan pengetahuan dan pemahaman.
Sang kandidat kemudian menyampaikan jawaban tanpa harus diatur kapan dia harus memulai menjawab, dan kapan dia harus mengakhiri penjelasan. Lalu sang moderator meminta lawan sang kandidat untuk menyampaikan respon atas penjelasanya. Begitu seterusnya.
Bahkan ketika di tengah penjelasan sang kandidat dipotong oleh sang lawan debat, moderator tidak berusaha untuk menengahi apalagi menghentikannya. Dengan begitu, jalannya debat lebih substantif dan pastinya lebih seru dan enak untuk ditonton.
Sementara debat kandidat yang digelar oleh KPU, masih lebih banyak diwarnai oleh acara seremonial yang sejatinya kurang urgen. Kemasan acara yang digelar dengan menghadirkan banyak pihak itu menyebabkan substansi debat menjadi terabaikan.
Lihat saja. Acara yang diatur oleh pembawa acara yang juga cukup panjang ketika menyampaikan basa basi sebagai pembuka, diawali dengan sambutan Ketua KPU yang mesti menyapa seluruh pihak yang hadir dalam acara tersebut. Sekedar untuk menyapa sebagai pembuka sambutan ini kadang memakan waktu bermenit-menit.
Salahnya, sebagian dari kita juga yang merasa bila tidak disapa maka terasa seolah kurang dihargai. Pun demikian dengan para pengisi acara. Bila tak menyapa pihak tertentu yang hadir seolah khawatir kurang punya adab. Maka, berderetlah “yang terhormat” dan “yang saya hormati” hingga memakan waktu lumayan panjang.
Sebagai wujud nasionalisme yang ditampakkan, menyanyikan lagu Indonesia Raya oleh seluruh yang hadir dengan cara sambil berdiri, adalah cara yang sudah benar. Namun, bila di tengah seremoni memperdengarkan jingle lagu Pilkada yang hanya familiar di kalangan penyelenggara, apa urgensinya?
Akhirnya muncul adegan yang mengundang senyum. Beberapa hadirin yang tidak familiar dengan jingle lagu itu nampak seperti komat-kamit tak hafal lirik apalagi nada. Akan lebih pas bila lagu itu diperdengarkan walau secara berulang ketika sebelum acara dimulai.
Peraturan atau tata tertib acara debat mestinya sudah harus selesai sebelum acara dimulai. Dengan begitu, seluruh yang hadir sudah tahu dan paham bagaimana mereka seharusnya mengikuti seluruh rangkaian acara debat itu hingga selesai.
Waktu yang singkat untuk berdebat itu, sebaiknya juga tidak perlu dipakai untuk menampilkan siapa saja yang berjasa dalam perhelatan debat tersebut. Harusnya perkara itu juga sudah selesai. Karena mereka yang berjasa itu sejatinya sudah tidak lagi membutuhkan pengakuan.
Seperti misalnya ketika sang moderator memperkenalkan para panelis yang notabene terdiri dari para pakar dalam berbagai bidang. Mereka telah dikontrak oleh KPU untuk bekerja merumuskan point-point pertanyaan. Tugas mereka telah selesai ketika mereka menyerahkan naskah soal kepada KPU. Dan penyerahan itu bukan pada saat acara debat.
Karenanya, tak perlu lagi ada adegan seremoni perwakilan dari para panelis menyerahkan berkas pertanyaan-pertanyaan kepada Ketua KPU. Bersalaman lalu difoto. Buang waktu! Bahwa ini dimaksudkan sebagai butir pertanyaan yang “fresh from oven”, memang ada benarnya. Tapi tak perlu masuk dalam rangkaian acara debat.
Pastinya, KPU bermaksud baik dengan cara meminta moderator ketika menanyakan satu perkara atau tema tertentu kepada para peserta debat dengan sebelumnya meminta panelis untuk mengambil bola undian, yang disusul oleh panelis kedua yang mengambil tema pertanyaan.
Hal itu dimaksudkan agar tidak ada kecurigaan kepada penyelenggara bahwa butir pertanyaan sudah diseting sebelumnya. Namun sekali lagi, cara itu kurang efektif. Bahkan lebih dari itu, cara itu malah menunjukkan ketidaksiapan peserta debat saat dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang “lebih alamiah dan natural”.
Yang paling tidak pas atas jalannya debat adalah ketika moderator membatasi waktu bagi peserta debat saat mereka menyampaikan jawaban dan atau penjelasan. Juga ketika mereka saling menyampaikan tanggapan atau respon atas penjelasan dari lawan debat.
Apalagi menjelang 10 detik terakhir, audio berupa hitungan mundur atau countdown pengingat dan penanda habisnya waktu cukup mengganggu konsentrasi yang sedang bicara, juga kenyamanan pendengaran para hadirin.
Hal lain yang pastinya juga bisa menjadi faktor terganggunya acara debat adalah kehadiran tim hore atau tim penggembira yang kadang teriakan mereka begitu memekakkan telinga walau tanpa pelantang.
Sebagai saran dan masukan bagi penyelenggara dalam menggelar debat calon Kepala Daerah, kemaslah acara debat dengan rangkaian acara yang lebih sederhana dan simpel tanpa ritual seremonial yang tidak penting. Dengan begitu debat bisa lebih substantif.
Kita bisa mencontoh seperti perhelatan debat kandidat Presiden Amerika Serikat. Cukup diikuti oleh mereka yang berkepentingan, dalam hal ini para kandidat, dan seorang moderator. Pastinya, sang moderator mesti orang yang mumpuni menguasai dan memahami persoalan-persoalan yang akan ditanyakan.
Tak perlu mengundang banyak pengurus partai politik, tim hore, atau tim penggembira. Mereka dan kita semua cukup menyimak dan mengikuti acara debat dari layar televisi yang menyiarkannya secara langsung. Tak perlu memasang barikade petugas pengamanan secara berlapis. Dan tak perlu mengeluarkan biaya untuk menyewa tempat yang megah.
Tapi, lain halnya kalau perhelatan debat kandidat adalah dalam rangka untuk menyerap anggaran. Kalau begitu alasannya, adalah benar sebagaimana kawan seorang penulis dalam sebuah group WhatsApp yang mengatakan bahwa “debat kandidat hanya menjadi rutinitas penyelenggara”, yang ditimpali oleh kawan lainnya bahwa debat kandidat merupakan “pemborosan dan ngabeakeun duit nagara”.***
Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas)