Img 20240925 Wa0069

Pada Pemilu 2024, Anies Baswedan maju sebagai salah satu calon Presiden RI. Dia bersaing dengan Prabowo dan Ganjar untuk menduduki kursi RI 1. Persaingan dimenangkan oleh Prabowo dengan perolehan suara sangat telak. Anies kalah. Wajar bila dia kecewa.

Karena menurutnya dan tim pengusungnya terjadi kecurangan dan pelanggaran atas kekalahannya, maka mereka melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan keadilan. Sayangnya MK tidak mengabulkan permohonan. Anies kembali kecewa untuk kedua kalinya.

Ketika Pilkada 2024 serentak digelar, Anies digadang-gadang oleh para pendukungnya untuk maju sebagai calon Gubernur Jakarta. Prinsipnya, walau tak jadi Presiden maka untuk saat ini cukup untuk menjadi Gubernur, sembari menyiapkan dirinya pada Pemilu berikutnya. 

Mungkin sedang menerapkan kaidah bahwa “bila engkau tidak bisa melakukan seluruhnya, maka jangan tinggalkan seluruhnya”. Kaidah yang sepanggang-seperloyangan dengan peribahasa “tak ada rotan, akar pun jadi”. Tak jadi Presiden, maka untuk sementara Gubernur pun tak apa.

Dalam rangka menuju Jakarta 1 ini, Anies dan pendukungnya melakukan pendekatan kepada beberapa partai politik agar mengusungnya sebagai calon Gubernur Jakarta. Maklum Anies bukan dan tidak menjadi anggota apalagi pengurus partai politik manapun.

Upayanya membuahkan hasil ketika salah satu partai politik yaitu PKS menyatakan akan mengusungnya. Namun suara satu partai politik itu belum cukup untuk memenuhi prosentase batas minimal syarat dukungan. Karenanya Anies ditugasi untuk mencari tambahannya.

Menjelang masa pendaftaran, Anies belum berhasil menggaet partai politik lain untuk mengusungnya. Di sisi lain, partai politik lain malah lebih merapat kepada koalisi besar dibawah dirigen Partai Gerindra -dan pastinya Partai Golkar- yang mengusung Ridwan Kamil sebagai bakal calon Gubernur Jakarta.

PDIP yang tidak tergabung dengan koalisi besar tersebut sempat memunculkan wacana akan mengusungnya. Terbukti dengan adanya kebersamaan Anies dengan Rano Karno, kader PDIP yang sempat menjadi Gubernur Banten dan akan maju sebagai calon kepala daerah di Jakarta.

Namun fakta berkata lain. PDIP lebih memilih mengusung kadernya sendiri, Pramono Anung yang dipasangkan dengan Rano Karno. Harapan Anies diusung sebagai bakal calon menjadi kandas. Apalagi, belakangan PKS yang semula akan mengusungnya, menarik dukungan dan memilih untuk merapat ke koalisi besar.

Bahkan PKS memilih kadernya sendiri, Suswono untuk mendampingi Ridwan Kamil. Dengan begitu, pupus sudah harapan Anies dan pendukungnya untuk bisa maju sebagai Gubernur Jakarta. Sementara jalur lain, yaitu jalur perseorangan tahapannya sudah lewat.

Adalah wajar bila Anies dan pendukungnya kembali kecewa untuk ketiga kalinya. Kecewa tak jadi Presiden RI, kecewa kalah bersengketa di MK, dan kecewa karena batal menjadi calon Gubernur Jakarta.

Akumulasi kekecewaan ini dilampiaskan dalam bentuk ajakan kepada para pemilih di Jakarta untuk mencoblos semua calon. Gerakan Coblos Semua atau Gercos ini begitu masif dinarasikan oleh para pendukung Anies. Pastinya Anies tahu atas gerakan ini. 

Gercos itu maksudnya adalah aksi untuk mengajak para pemilih agar pada hari pemungutan suara nanti datang ke Tempat Pemungutan Suara atau TPS. Pada saat berada di bilik suara, pemilih disarankan untuk mencoblos seluruh calon. Dengan begitu maka surat suara menjadi tidak sah. Surat suara menjadi kategori rusak.

Dalih mereka, cara ini sebagai wujud sikap politik warga. Pesan yang tersirat adalah adanya perlawanan atas praktek berdemokrasi yang dianggap tidak sehat. Yang mereka maksud adalah adanya perilaku memborong partai sehingga menutup peluang Anies untuk bisa dicalonkan.

Belum diketahui apakah Anies sendiri merestui atau mengamini gerakan ini. Bisa jadi ini hanya wujud pembelaan para pendukungnya. Namun pastinya dia mengetahui. Belum adanya statement langsung dari Anies bisa bermakna bahwa dia melakukan pembiaran. Pembiaran lebih condong pada sikap persetujuan.

Perlu diketahui bahwa memilih itu hak. Bahkan tidak memilih juga hak. Tapi bila sudah mengajak untuk tidak memilih, itu akan menjadi persoalan. Memilih dengan cara mencoblos dengan benar, itu yang disarankan. Mencoblos semua calon, itu tidak benar.

Mencoblos semua calon di dalam bilik suara, itu juga hak. Tapi mengajak untuk mencoblos semua, itu akan bisa menuai masalah. Lagian, rasa kecewa yang dilampiaskan dengan gerakan mengajak pemilih untuk mencoblos semua calon, adalah cara yang tidak jantan.

Karenanya, ketika ada wacana dan niatan Anies bersama pendukungnya yang akan membentuk organisasi kemasyarakatan, yang kemudian bisa jadi bermetamorfosis menjadi partai politik -seperti halnya ormas Nasdem yang didirikan oleh Surya Paloh- itulah langkah yang lebih tepat.

Ikuti jejak Paloh. Dirikan ormas. Menjelang Pemilu, ubah ormas menjadi parpol. Tercatat di ke Kemenkumham. Daftarkan ke KPU. Dengan begitu bisa menjadi salah satu peserta Pemilu 2029 yang akan datang. Lalu daftar sebagai calon Presiden RI.

Emang bisa? Nanti dulu! Kalau UU Pemilu tidak berubah, kalau tidak ada parpol lain yang mau berkoalisi hingga mencapai prosentase batas minimal, bahkan kalau partainya sendiri meraih suara banyak bahkan terbanyak pada Pemilu nanti, tetap saja Anies tidak bisa dicalonkan.

Lho koq begitu? Iya, kan Pemilunya serentak di hari yang sama memilih calon Presiden dan Wakil, calon anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten serta Kota. Jadi, syarat untuk mengusung calon Presiden RI pada Pemilu 2029 bukan hasil Pemilu 2029. Tapi hasil Pemilu sebelumnya. Yaitu Pemilu 2024!

Oleh karena itu, bila dengan cara membentuk ormas yang kemudian akan berubah baju menjadi parpol dan diharapkan akan menjadi kendaraan politik bagi Anies untuk menjadi Presiden RI itu belum tepat, maka cara paling murah, mudah, praktis, efektif, efisien, adalah bergabung dengan parpol yang sudah ada.

Saya menyarankan agar baik Anies sendiri maupun para pendukungnya, untuk tidak mengambil keputusan strategis dalam suasana kecewa apalagi marah. Karena keputusan yang diambil dalam suasana emosional itu malah akan menjadi bumerang. Bahkan bisa jadi petaka!

Gercos yang hari ini diyakini gerakan moral sebagai ekspresi dan bentuk perlawanan terhadap kehidupan berdemokrasi yang dianggap tidak sedang baik-baik saja, hanya akan menyisakan jejak digital yang akan sulit untuk dihapus, yang suatu saat ketika anda membutuhkan dukungan dan suara rakyat, akan menarasikan berkebalikan dengan argumentasi hari ini. Wallahualam.***

Tangerang, Senin, 7 Oktober 2024

Ocit Abdurrosyid Siddiq

Penulis adalah Pegiat Demokrasi dan Pemilu, Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content ini dilindungi.....!!!!