“Pikiran yang pantas disebut pikiran adalah pikiran yang mampu dipertengkarkan.”
“Debat adalah cermin; di dalamnya tampak kualitas kepemimpinan.”
Debat, berasal dari kata Latin “disbattere” yang berarti “melawan”, bukanlah sekadar platform untuk memaparkan visi dan misi. Debat adalah medan pertempuran ide, di mana proposisi diuji dan dibantah dengan tajam. Seperti sidang disertasi di universitas, debat menguji kemampuan bernalar seseorang, membuktikan bahwa pikiran yang pantas disebut pikiran adalah pikiran yang mampu dipertengkarkan.
Diogenes, seorang filsuf Yunani, mendefinisikan enam unsur penting dalam debat: tanding gagasan, tanding retorika, tanding akting, tanding popularitas, tanding prestasi, dan tanding logika. Dalam praktiknya, banyak yang terjebak dalam keinginan untuk terlihat pintar dan benar, seringkali dengan cara menonjolkan kebodohan dan kesalahan lawan.
Namun, debat yang ideal bukanlah sekadar adu pintar. Debat dalam konteks pemilu, misalnya, menunjukkan kemampuan seseorang dalam merespon pendapat orang lain dengan rasa, logika, data, dan bahasa yang jernih. Debat yang baik bisa agresif, namun tidak kasar. Lucu dalam mengejek, namun tidak menghina. Menggugah, namun tidak menghasut. Itulah sebabnya di sekolah-sekolah serius di luar negeri, debat menjadi bagian penting dalam pendidikan.
Sayangnya, debat politik seringkali menyimpang dari esensi ini. Debat politik lebih mirip “show” untuk memenangkan hati dan pikiran rakyat, bukan sekadar pertarungan ide. Penampilan, cara menjawab, cara bertanya, bahkan gesture, menjadi faktor penentu kesuksesan dalam memenangkan hati rakyat. Substansi, meskipun penting, seringkali kalah pamor dengan penampilan dan strategi politik.
Debat yang ideal adalah pertarungan ide yang sehat, di mana setiap pihak berusaha untuk menguji dan memperkuat argumennya dengan logika dan data yang kuat. Debat yang baik bukan hanya tentang memenangkan perdebatan, tapi juga tentang membangun pemahaman yang lebih baik tentang isu-isu yang dibahas. Semoga, di masa depan, debat politik dapat kembali ke esensi aslinya, yaitu sebagai forum untuk melahirkan ide-ide yang lebih baik untuk kemajuan bangsa.
Debat: Momentum Pilkada
Dalam panggung pemilihan kepala daerah (Pilkada), debat calon kepala daerah bukan sekadar acara formal. Ia lebih dari itu, sebuah momen berharga di mana calon pemimpin ditantang untuk menampilkan bukan hanya ide-ide, tetapi juga karakter dan kemampuan berkomunikasi mereka. Ini adalah faktor penentu yang tak bisa diabaikan dalam proses demokrasi yang semakin rumit.
Sejak dimulainya kampanye, pengaruh debat terhadap elektabilitas semakin terlihat jelas. Para pemilih kini tidak hanya menilai narasi yang disampaikan, tetapi juga bagaimana calon berinteraksi dengan lawan dan audiens. Dalam setiap debat, calon berupaya menonjolkan kelebihan mereka, baik dari segi substansi maupun gaya komunikasi. Di sinilah letak kekuatan debat: sebagai panggung untuk bertukar ide dan menguji karakter.
Penting untuk menekankan bahwa penampilan dalam debat mencerminkan kedalaman pemahaman calon terhadap isu-isu yang dihadapi masyarakat. Ketika seorang calon mampu menjawab pertanyaan dengan tegas, menyajikan argumen yang didukung data, dan menunjukkan empati terhadap isu sosial, ia tidak hanya menarik perhatian pemilih, tetapi juga membangun kepercayaan. Dalam era di mana informasi melimpah dan pemilih semakin cerdas, kemampuan komunikasi yang baik menjadi aset berharga.
Namun, tantangan tetap ada. Debat kadang bertransformasi menjadi arena serangan pribadi yang tidak produktif. Ketika calon lebih fokus merendahkan lawan daripada membahas isu substantif, potensi untuk menciptakan diskusi yang konstruktif hilang. Di sinilah kritisisme terhadap kultur debat menjadi sangat penting. Penulis menyerukan perlunya etika dan sportivitas. Calon yang saling menghargai dan mengedepankan argumen berbobot menciptakan suasana yang kondusif, memberikan contoh baik bagi pemilih.
Stagnasi elektabilitas juga menjadi fenomena yang menarik. Meskipun debat dapat meningkatkan daya tarik seorang calon, survei menunjukkan bahwa pergeseran dukungan sering kali tidak signifikan. Dalam upaya meraih suara, muncul pertanyaan apakah Pilkada akan berlangsung dalam satu atau dua putaran. Debat menjadi peluang bagi calon untuk mempengaruhi opini publik secara langsung.
Dinamika migrasi suara perlu diperhatikan. Partai-partai politik yang selama ini mendominasi kini menghadapi tantangan baru di tengah perubahan lanskap politik. Pemilih semakin kritis, tidak hanya menilai calon secara individual, tetapi juga mempertimbangkan afiliasi partai. Ini menuntut calon untuk memperkuat citra pribadi sekaligus menekankan nilai-nilai yang diusung oleh partai.
Akhirnya, dalam setiap debat ada pesan lebih dalam yang perlu disimak: perlunya pemimpin yang tidak hanya pandai berretorika, tetapi juga memiliki visi yang jelas untuk masa depan. Debat bukan hanya tentang memenangkan suara, tetapi juga tentang membangun dialog yang produktif dan mengedukasi masyarakat. Dalam konteks demokrasi yang sehat, calon yang mampu menjadikan debat sebagai sarana untuk menyampaikan ide-ide cemerlang dan menyentuh hati rakyat akan menjadi pilihan yang lebih baik.
Secara keseluruhan, debat calon kepala daerah dalam Pilkada lebih dari sekadar formalitas. Ini adalah kesempatan untuk membangun kepercayaan, menjelaskan visi, dan menunjukkan karakter. Di momen-momen ini, harapan masyarakat untuk menemukan pemimpin yang dapat membawa perubahan nyata menjadi semakin jelas. Dengan begitu, debat menjadi panggung yang tidak hanya menentukan elektabilitas, tetapi juga masa depan demokrasi itu sendiri.
Debat publik dalam konteks pemilihan kepala daerah (Pilkada) lebih dari sekadar ajang unjuk kemampuan. Ia merupakan kesempatan emas bagi calon pemimpin untuk menjalin komunikasi langsung dengan publik, menyampaikan ide-ide mereka, dan merespons tantangan yang dihadapi masyarakat. Dalam dunia yang dipenuhi kompleksitas isu, momen ini semakin penting, terutama ketika pemilih kini semakin cerdas dan kritis.
Setiap debat adalah arena di mana gagasan dan karakter calon diuji. Penampilan yang meyakinkan tidak hanya menarik perhatian, tetapi juga dapat menjadi indikator ketangguhan calon dalam menghadapi tantangan kebijakan dan isu sosial. Ketika seorang calon mampu menyampaikan argumen dengan jelas dan penuh keyakinan, ia tidak hanya memikat pemilih, tetapi juga berpotensi meningkatkan elektabilitasnya secara signifikan.
Namun, penampilan yang baik tanpa substansi yang kuat adalah sia-sia. Pemilih kini mencari lebih dari sekadar orator ulung; mereka mendambakan pemimpin yang memiliki visi jelas dan mampu memberikan solusi konkret untuk permasalahan yang ada. Debat menjadi kesempatan bagi calon untuk menunjukkan keahlian dalam merumuskan kebijakan yang relevan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Di sisi lain, debat juga menyediakan ruang bagi calon untuk menunjukkan integritas dan karakter mereka. Saat seorang calon dapat mengatasi tekanan, menjaga sikap profesional, dan merespons kritik dengan elegan, ia membangun citra positif di benak pemilih. Dalam dunia politik yang sering kali didera konflik, sikap saling menghormati dan menghargai lawan dapat menjadi pembeda seorang pemimpin yang aspiratif.
Namun, ada tantangan besar yang mengintai: fenomena serangan pribadi yang sering terjadi dalam debat. Ketika diskusi bergeser dari substansi ke saling serang, tujuan utama debat sebagai wahana edukasi masyarakat bisa sirna. Oleh karena itu, penting bagi moderator dan penyelenggara untuk menjaga agar debat berlangsung dalam suasana kondusif, memberi kesempatan bagi setiap calon untuk menyampaikan pandangan mereka tanpa gangguan yang tidak perlu.
Perubahan paradigma dalam memandang debat sangat diperlukan. Alih-alih hanya mengejar rating atau perhatian media, debat seharusnya dimanfaatkan sebagai platform untuk meningkatkan kesadaran publik. Ini adalah momen bagi calon untuk menjelaskan program mereka dan membangun hubungan emosional dengan pemilih.
Kualitas debat pun harus dipertimbangkan secara kritis. Debat yang baik akan menekankan substansi, memungkinkan calon membahas isu mendesak seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Ketika debat menciptakan dialog yang membangun, ia tidak hanya meningkatkan pemahaman publik, tetapi juga memperkaya kualitas demokrasi.
Kesimpulannya, debat sebagai momentum penting dalam Pilkada harus dipahami sebagai lebih dari sekadar kompetisi. Ia adalah forum bagi calon untuk menunjukkan visi, karakter, dan kemampuan komunikasi mereka. Dalam masyarakat yang semakin mendambakan pemimpin responsif dan berintegritas, debat menjadi alat vital untuk mendidik pemilih dan memengaruhi keputusan mereka. Setiap calon memiliki tanggung jawab untuk memanfaatkan momen ini dengan bijaksana, demi masa depan yang lebih baik.
Stagnasi Elektoral: Refleksi Kritis
Menuju pemilihan kepala daerah (Pilkada), debat publik diharapkan menjadi alat strategis untuk meningkatkan elektabilitas calon. Namun, meskipun banyak debat menampilkan performa mengesankan, survei terbaru menunjukkan stagnasi dalam dukungan terhadap calon. Fenomena ini adalah tantangan besar bagi politisi dan pengamat, serta menggugah refleksi kritis tentang dinamika politik yang terjadi.
Stagnasi elektoral bukan hanya indikasi kurangnya efek dari debat, tetapi juga mencerminkan kompleksitas lanskap politik yang lebih luas. Masyarakat kini semakin skeptis. Mereka tidak hanya tertarik pada penampilan memikat, tetapi menuntut substansi dan konsistensi dalam visi yang diusung calon. Dalam konteks ini, debat harus mampu menghubungkan harapan pemilih dengan realitas yang ditawarkan oleh calon.
Salah satu aspek penting yang perlu dicermati adalah persepsi pemilih yang telah terbentuk sebelumnya. Stagnasi dukungan dapat mencerminkan keengganan pemilih untuk beralih dari pilihan yang sudah ada, terutama jika mereka merasa tidak ada alternatif menarik. Ini menunjukkan bahwa elektorat semakin berhati-hati dalam memilih pemimpin, menuntut lebih dari sekadar janji politik. Calon yang tidak dapat menunjukkan perbedaan signifikan dari lawan-lawan mereka berisiko kehilangan peluang menarik perhatian pemilih.
Lebih jauh lagi, stagnasi ini juga menunjukkan bahwa strategi kampanye mungkin perlu direvisi. Para calon harus menyadari bahwa komunikasi politik yang efektif bukan hanya soal menyampaikan pesan dengan megah, tetapi juga mendengarkan dan merespons kebutuhan masyarakat. Di sinilah umpan balik publik sangat krusial. Mengabaikan suara dan aspirasi pemilih dapat mengakibatkan isolasi politik, membuat calon semakin jauh dari realitas yang dihadapi masyarakat.
Stagnasi elektoral bisa menjadi panggilan introspeksi di dalam partai politik itu sendiri. Partai yang mapan sering terjebak dalam pola pikir tradisional dan cenderung mengabaikan inovasi dalam pendekatan mereka terhadap pemilih. Stagnasi ini bisa jadi sinyal bahwa pemilih menginginkan perubahan lebih substansial—bukan hanya dalam calon, tetapi juga dalam ideologi dan kebijakan yang diusung oleh partai politik.
Namun, dampak dari fenomena ini bisa beragam. Stagnasi dukungan dapat memunculkan efek domino di arena politik, di mana pemilih mulai mencari alternatif baru atau bahkan golput. Dalam konteks ini, penting bagi calon untuk meningkatkan kualitas debat dan substansi kampanye mereka. Mereka harus mampu menawarkan solusi konkret yang relevan dan realistis.
Kesimpulannya, tantangan stagnasi elektoral dalam Pilkada mencerminkan kompleksitas dinamika politik yang sedang berlangsung. Data survei menunjukkan kurangnya pergeseran dukungan, yang mencerminkan kebutuhan introspeksi bagi calon dan partai politik. Dalam masyarakat yang semakin kritis, calon yang mampu menghadirkan ide-ide baru, mendengarkan aspirasi publik, dan berkomunikasi dengan transparansi akan memiliki peluang lebih besar untuk mengubah stagnasi menjadi momentum perubahan. Dengan demikian, stagnasi ini seharusnya tidak hanya dipandang sebagai hambatan, tetapi juga sebagai kesempatan untuk berinovasi dan menjawab tuntutan zaman.
Migrasi Suara dan Dinamika Partai
Dalam konteks pemilihan kepala daerah (Pilkada), fenomena migrasi suara telah menjadi sorotan utama penulis. Partai-partai politik kini menghadapi tantangan besar untuk mempertahankan dukungan di tengah perubahan preferensi pemilih yang semakin dinamis. Calon-calon unggulan yang muncul ke permukaan dapat memengaruhi aliran suara dan membawa dampak signifikan bagi partai yang mereka wakili.
Migrasi suara mencerminkan pergeseran dukungan pemilih dari satu calon atau partai ke calon atau partai lain. Fenomena ini bukanlah hal baru, namun dengan semakin tingginya tingkat pendidikan politik masyarakat, migrasi suara kini menjadi lebih kompleks dan terukur. Pemilih modern tidak lagi terikat pada afiliasi partai yang bersifat herediter; mereka mengevaluasi calon berdasarkan kinerja, integritas, dan relevansi ide yang diusung. Penulis menekankan bahwa para calon harus siap menghadapi perubahan ini dengan menghadirkan narasi yang mampu memenuhi harapan masyarakat.
Di era informasi, di mana akses terhadap data dan analisis semakin mudah, pemilih menjadi lebih cerdas dan selektif. Partai-partai yang selama ini mendominasi harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan basis suara yang mungkin mulai goyah. Ini mendorong mereka untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap strategi komunikasi dan kebijakan. Pihak yang terjebak dalam rutinitas lama tanpa beradaptasi dengan tuntutan zaman berisiko kehilangan dukungan yang telah dibangun selama bertahun-tahun.
Calon-calon unggulan, biasanya yang memiliki karisma dan daya tarik, dapat memengaruhi migrasi suara secara signifikan. Ketika seorang calon muncul sebagai figur yang membawa perubahan dan menawarkan visi yang kuat, pemilih yang sebelumnya setia kepada partai lain mungkin tergoda untuk beralih. Misalnya, seorang calon dari partai minoritas yang mampu menonjol dalam debat publik atau kampanye dapat memicu gelombang dukungan yang tak terduga. Ini menunjukkan bahwa bukan hanya partai yang berperan, tetapi individu yang diusung dapat menjadi agen perubahan yang membawa keuntungan bagi partai.
Namun, dampak dari migrasi suara ini tidak hanya pada tingkat individu. Partai yang kehilangan dukungan harus siap menghadapi konsekuensi, baik dalam hal kursi legislatif maupun dalam daya tawar mereka di panggung politik.
Oleh karena itu, penting bagi partai untuk memahami bahwa mempertahankan dukungan bukan sekadar urusan strategi kampanye, tetapi juga tentang membangun hubungan yang kokoh dengan pemilih. Transparansi, kejujuran, dan keterlibatan dalam isu-isu lokal dapat membantu memperkuat kembali kepercayaan publik.
Dari perspektif penulis, migrasi suara juga mencerminkan perubahan paradigma dalam politik. Masyarakat semakin menginginkan pemimpin yang responsif, bukan hanya dalam kata-kata, tetapi juga dalam tindakan. Pemilih kini lebih peduli pada rekam jejak calon dan partai dalam menangani masalah-masalah yang relevan, seperti pendidikan, kesehatan, dan keadilan sosial. Ketika partai dan calon gagal memenuhi kebutuhan ini, migrasi suara akan menjadi kenyataan yang sulit dihindari.
Kesimpulannya, migrasi suara dan dinamika partai adalah isu krusial yang harus dipahami dengan baik dalam konteks Pilkada. Tantangan untuk mempertahankan dukungan di tengah perubahan preferensi pemilih memerlukan strategi yang lebih inovatif dan adaptif. Calon-calon unggulan yang mampu mempengaruhi migrasi suara dapat menjadi kunci dalam menciptakan pergeseran politik yang signifikan. Oleh karena itu, partai-partai harus menyadari bahwa keberhasilan mereka tidak hanya tergantung pada kebijakan, tetapi juga pada kemampuan mereka untuk berhubungan dengan masyarakat secara autentik dan responsif. Dalam era yang penuh perubahan ini, politik bukan hanya tentang siapa yang memimpin, tetapi juga tentang bagaimana cara mereka memimpin untuk menjawab harapan dan kebutuhan rakyat.
Persepsi Pemilih dan Pemilu
Dalam konteks pemilihan kepala daerah (Pilkada), persepsi pemilih menjadi aspek yang sangat menentukan arah pemilu. Survei yang dilakukan setelah debat publik memberikan wawasan penting tentang bagaimana calon dipersepsikan oleh masyarakat. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: apakah penampilan calon dalam debat benar-benar memengaruhi pilihan pemilih? Dan sejauh mana dukungan terhadap calon mencerminkan dukungan terhadap partai yang mereka wakili?
Survei pasca-debat sering kali mencerminkan dinamika psikologis dan sosial dalam masyarakat. Sebuah penampilan yang kuat, karisma menarik, dan argumen meyakinkan dapat meninggalkan kesan mendalam pada pemilih. Namun, penilaian ini tidak lepas dari konteks yang lebih luas—sejarah partai, kebijakan yang telah dijalankan, dan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Dalam pandangan penulis, penting untuk menyadari bahwa persepsi pemilih dibangun dari berbagai lapisan informasi dan pengalaman.
Ketika pemilih merasa terhubung dengan seorang calon, baik melalui penampilan maupun visi yang relevan dan substansi yang kuat, mereka cenderung memberikan dukungan. Namun, ini juga menunjukkan bahwa meskipun penampilan memiliki pengaruh, kedalaman konten yang disampaikan adalah kunci. Calon yang tidak hanya pandai berbicara tetapi juga memiliki rencana aksi yang jelas dan terukur akan lebih berhasil menarik perhatian pemilih.
Di sisi lain, hubungan antara dukungan terhadap calon dan partai yang diwakili juga menarik untuk dikaji. Dalam politik modern, di mana pemilih semakin kritis dan independen, dukungan kepada calon tidak selalu identik dengan loyalitas kepada partai. Banyak pemilih yang menilai karakter dan kinerja individu sebagai faktor utama dalam menentukan pilihan. Ini memberikan tantangan bagi partai untuk mempertahankan dukungan, terutama jika calon yang mereka usung tidak cukup kuat dalam mempresentasikan diri.
Mengamati tren ini, penulis berpendapat bahwa partai harus beradaptasi dengan perubahan perilaku pemilih. Membangun narasi yang tidak hanya berfokus pada ideologi partai, tetapi juga pada kebijakan dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat, menjadi semakin penting. Partai yang mampu menghadirkan calon dengan integritas tinggi dan pemahaman mendalam tentang isu-isu lokal akan lebih mungkin mendapatkan dukungan.
Lebih jauh lagi, survei pasca-debat tidak hanya memberikan gambaran tentang persepsi saat ini, tetapi juga membantu memetakan arah pemilu ke depan. Hasil survei dapat menunjukkan potensi pergeseran dukungan dan membantu calon serta partai merumuskan strategi kampanye yang lebih efektif. Dalam konteks ini, analisis mendalam terhadap data survei menjadi penting, mengingat hal ini bisa menjadi indikator tentang di mana dan bagaimana pemilih berencana memberikan suara.
Kesimpulannya, persepsi pemilih dan arah pemilu saling terkait dengan kompleksitas yang harus dipahami secara holistik. Survei pasca-debat bukan sekadar angka, melainkan cermin dari dinamika sosial yang lebih besar. Dengan memahami bagaimana pemilih merespons penampilan calon dan sejauh mana dukungan terhadap calon berkaitan dengan partai, calon dan partai politik dapat menyesuaikan strategi mereka untuk menciptakan koneksi yang lebih kuat dengan pemilih. Dalam dunia politik yang terus berubah, menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan harapan pemilih adalah kunci untuk mencapai keberhasilan dalam Pilkada mendatang.
Debat Strategis Pilkada
Dalam lanskap politik yang dinamis, debat dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) memegang peranan yang jauh lebih signifikan daripada sekadar formalitas. Ia merupakan arena strategis yang mampu membentuk opini publik dan memengaruhi keputusan pemilih. Sebagai momen kritis dalam proses demokrasi, debat menawarkan kesempatan bagi calon untuk menyampaikan ide dan gagasan mereka, sekaligus menunjukkan karakter dan kapasitas kepemimpinan yang mereka tawarkan.
Penulis mengamati bahwa kualitas penyampaian dalam debat adalah faktor kunci yang dapat menggugah minat pemilih. Dalam suasana yang penuh ketegangan, penampilan yang meyakinkan, argumen berbobot, serta kemampuan untuk menjawab pertanyaan dengan jelas menjadi elemen-elemen vital yang dapat meningkatkan elektabilitas calon. Penampilan yang dominan di panggung debat bukan hanya untuk menunjukkan keahlian berargumen, tetapi juga sebagai cara untuk membangun hubungan emosional dengan pemilih. Ketika seorang calon mampu mengaitkan visi dan misi mereka dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, mereka berpotensi menciptakan resonansi yang mendalam, yang pada gilirannya dapat memengaruhi pilihan suara.
Menjelang pemilu yang semakin ketat, setiap kesempatan untuk tampil di depan publik harus dimanfaatkan secara optimal. Calon yang cerdas akan mempersiapkan diri dengan baik, tidak hanya dalam hal materi, tetapi juga dalam memahami konteks sosial dan politik yang mengelilingi mereka. Kesadaran akan isu-isu terkini dan kemampuan untuk merespons kritik dengan elegan adalah keunggulan kompetitif yang harus dimiliki oleh setiap kandidat.
Namun, tantangan tidak berhenti di situ. Di tengah tekanan dan harapan yang besar, calon juga harus tetap berkomitmen pada prinsip-prinsip sportivitas dan integritas. Debat yang berlangsung dalam suasana saling menghormati, meskipun diwarnai persaingan ketat, akan memperkaya pengalaman demokrasi itu sendiri. Ini bukan hanya tentang siapa yang menang atau kalah, tetapi tentang bagaimana proses tersebut dapat menjadi sarana edukasi bagi pemilih dan masyarakat secara keseluruhan.
Di sisi lain, penulis menekankan bahwa peran media juga tidak bisa diabaikan. Media yang bertanggung jawab memiliki tanggung jawab untuk menyajikan informasi secara objektif dan mendalam, sehingga publik mendapatkan gambaran yang utuh tentang calon-calon yang ada. Dengan demikian, debat tidak hanya menjadi ajang kompetisi, tetapi juga platform untuk menyebarkan pengetahuan dan meningkatkan kesadaran politik masyarakat.
Sebagai kesimpulan, debat dalam Pilkada merupakan arena strategis yang menawarkan peluang bagi calon untuk menunjukkan kemampuan mereka dan mempengaruhi keputusan pemilih. Dalam iklim politik yang kompetitif, calon harus siap untuk memanfaatkan setiap kesempatan yang ada, dengan menyampaikan pesan yang kuat dan relevan, serta menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Hanya dengan pendekatan yang cerdas dan berintegritas, mereka dapat menggugah minat pemilih dan meningkatkan elektabilitas, sekaligus berkontribusi pada terciptanya demokrasi yang lebih berkualitas dan beradab.***
Oleh: BUNG EKO SUPRIATNO
Penulis adalah Dosen Ilmu Pemerintahan di Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul Anwar Banten