Img 20241205 153537

“Humor yang tidak bijak justru membangun jarak, bukan persaudaraan. Dalam dakwah, kata-kata kita harus mencerminkan empati, bukan sekadar tawa. Di dunia yang saling terhubung ini, setiap ucapan adalah tanggung jawab moral, karena setiap kata bisa mempererat atau merusak keharmonisan.”
Bung Eko Supriatno

Gus Miftah, yang dikenal sebagai tokoh yang sering mengusung pesan-pesan toleransi dan kebijaksanaan, melontarkan sebuah candaan yang, meski tampaknya ringan, justru menimbulkan gelombang reaksi. Kata “goblok” yang ia sematkan kepada seorang pedagang es teh keliling, dalam konteks yang mungkin dimaksudkan sebagai lelucon, langsung menyebar ke jagat media sosial, memicu perdebatan dan kecaman yang meluas.

Candaan itu, yang semula diharapkan dapat mengundang tawa, justru menggugah pertanyaan mendalam tentang batasan-batasan dalam berhumor, terutama bagi figur publik yang selama ini dijadikan panutan.

Gus Miftah, yang memiliki pengaruh besar di kalangan umat, tiba-tiba terjebak dalam dilema klasik antara keinginan untuk menyampaikan humor yang dekat dengan realitas sehari-hari dan kewajiban moral untuk menjaga kehormatan dan martabat sesama.

Dalam dunia yang semakin terhubung ini, tempat-tempat publik, termasuk media sosial, seolah menjadi ruang di mana setiap kata dan tindakan dapat menjadi sorotan. Sebuah lelucon yang mungkin tidak berniat menyakiti, bisa berubah menjadi kontroversi yang memecah belah. Fenomena ini bukan hanya berkaitan dengan Gus Miftah semata, melainkan juga dengan pergulatan budaya, nilai-nilai, dan tata krama dalam masyarakat kita yang semakin dinamis.

Penulis memahami bahwa humor adalah sebuah bentuk ekspresi yang sering kali lahir dari keakraban dan spontanitas, memiliki daya tarik yang tak terbantahkan dalam membangun jembatan komunikasi. Namun, di tengah masyarakat yang semakin heterogen dan penuh dengan kepekaan, apakah masih ada ruang bagi humor yang kasar dan tanpa filter? Apakah humor semacam ini hanya menjadi sebuah guyonan belaka, atau justru mencerminkan kekurangan dalam pemahaman kita terhadap etika publik dan sensitivitas sosial?

Kita perlu merenung lebih dalam. Kejadian ini bukan hanya soal Gus Miftah atau satu kalimat yang terlontar. Ia merupakan cermin dari bagaimana kita sebagai bangsa berusaha menyeimbangkan antara kebebasan berpendapat, penghormatan terhadap sesama, dan tanggung jawab publik. Sebuah diskursus yang tak pernah usai, dan tentu saja, penuh dengan berbagai lapisan makna yang harus terus digali.

Humor, dalam konteks ini, lebih dari sekadar tawa yang mengiringinya. Ia adalah gambaran dari suatu sikap, pilihan kata, dan keputusan yang melibatkan banyak pihak. Maka, dari kejadian ini, marilah kita belajar untuk memaknai setiap tutur kata dengan lebih bijaksana, dengan kesadaran bahwa dalam setiap lelucon yang kita lontarkan, ada dunia lain yang sedang kita bangun atau bahkan meruntuhkan.

Respons Publik dan Kritik

Tak lama setelah ucapan kontroversial Gus Miftah mengenai “goblok” kepada pedagang es teh keliling, media sosial dipenuhi reaksi publik yang kecewa dan terluka. Banyak yang merasa bahwa kata-kata kasar tersebut, meski dimaksudkan sebagai gurauan, justru melukai perasaan mereka yang bekerja keras dalam hidup, terutama para pekerja dengan penghasilan tidak tetap.

Reaksi keras ini tidak hanya datang dari masyarakat awam, tetapi juga dari sejumlah tokoh agama dan cendekiawan. Kritik-kritik tersebut mencerminkan dua hal penting: kepekaan sosial dan tanggung jawab moral seorang tokoh publik. Dalam dunia yang serba cepat dan terbuka, setiap ucapan dari sosok yang menjadi panutan akan selalu diawasi. Humor, yang seharusnya bisa mencairkan suasana, bisa berubah menjadi pedang yang tajam jika tidak ditempatkan dengan bijak.

Namun, kritik terhadap Gus Miftah bukanlah serangan pribadi, melainkan panggilan untuk refleksi lebih luas tentang bagaimana kita memandang humor dan kekerasan verbal dalam kehidupan sehari-hari. Di tengah masyarakat yang mengutamakan nilai gotong-royong dan saling menghormati, humor kasar meski dimaksudkan untuk bercanda bisa menambah jarak di antara kita.

Humor yang merendahkan kelompok tertentu bisa terasa seperti ungkapan superioritas, yang seharusnya tidak datang dari seorang ulama yang diharapkan menjadi contoh dalam menyebarkan kasih dan kedamaian.

Insiden ini juga mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga etika komunikasi. Apa yang boleh dan tidak boleh kita katakan, terutama dalam posisi publik. Dalam masyarakat yang semakin sadar sosial, kita harus belajar menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan tanggung jawab moral. Humor kasar yang melukai, bahkan tanpa niat buruk, bisa mengaburkan nilai luhur yang diajarkan para ulama.

Bagi Gus Miftah, kejadian ini bisa menjadi pelajaran tentang batasan dalam berkomunikasi. Setiap kalimat yang kita lontarkan, terutama di ruang publik, memiliki dampak lebih besar dari yang kita bayangkan. Sebagai figur publik, kata-kata adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan, karena dalam setiap candaan bisa tersembunyi pesan yang lebih dalam baik atau buruk bagi masyarakat yang mendengarnya.

Peran Figur Publik dalam Dakwah

Sebagai pendakwah berpengaruh, Gus Miftah memikul tanggung jawab yang jauh lebih besar dari sekadar menyampaikan pesan agama. Setiap kata, tindakan, dan sikapnya menjadi refleksi dari ajaran Islam yang ia bawa, dan tak hanya mencerminkan dirinya, tetapi juga memengaruhi pandangan masyarakat terhadap agama itu sendiri. Dalam dunia yang terhubung ini, setiap pernyataan dari figur publik seperti Gus Miftah bisa menyebar luas dan membentuk pemahaman kolektif tentang Islam dan moralitas.

Penting untuk diingat bahwa dakwah bukan hanya tentang menarik perhatian atau membuat orang tertawa, tetapi bagaimana pesan itu disampaikan dengan penuh tanggung jawab.
Humor yang tidak bijaksana, meskipun dimaksudkan untuk bercanda, bisa melukai perasaan banyak orang dan merusak keharmonisan sosial. Sebagai figur publik, Gus Miftah dituntut untuk menjadi teladan dalam sikap dan akhlak. Setiap kata yang diucapkannya harus mencerminkan rasa hormat, pengertian, dan kebijaksanaan bukan hanya bagi mereka yang sepaham, tetapi juga bagi mereka yang berbeda pandangan.

Di dunia yang semakin kritis ini, dakwah yang efektif tidak hanya soal menyebarkan pesan agama, tetapi juga menjaga martabat semua pihak. Sebagai tokoh agama, Gus Miftah harus memastikan bahwa pesan yang ia sampaikan dapat diterima dengan baik, tanpa merendahkan atau melukai siapa pun. Setiap kata yang dilontarkan bisa memiliki dampak yang besar, baik positif maupun negatif. Oleh karena itu, figur publik harus selalu ingat bahwa kata-kata mereka bukan hanya sekadar ucapan, tetapi juga tanggung jawab moral.

Sebagai refleksi, kita perlu bertanya: bagaimana seharusnya seorang figur publik mengelola pengaruh yang mereka miliki? Apakah humor yang dilontarkan di ruang publik bisa bebas dari tanggung jawab sosial? Dalam dunia yang serba cepat ini, setiap perkataan yang keluar dari tokoh masyarakat harus dipertimbangkan dengan bijak, karena kata-kata adalah bagian dari perjalanan spiritual kita bersama.

Dampak Sosial Humor Tidak Tepat

Di era digital yang serba cepat, humor yang tidak tepat bisa dengan mudah memicu polemik besar. Sebuah video viral dapat mengubah ucapan ringan menjadi perbincangan luas yang mempengaruhi persepsi masyarakat. Ini menunjukkan betapa kuatnya dampak sosial dari kata-kata, terutama jika diucapkan oleh figur publik yang berpengaruh.

Humor yang tidak sensitif dapat menimbulkan ketidaknyamanan, memperburuk ketegangan sosial, dan memperlebar kesenjangan antar kelompok. Media sosial mempercepat reaksi publik yang bisa langsung merusak reputasi atau memperpanjang konflik. Dalam budaya yang menghargai keharmonisan, humor harusnya mempererat, bukan menciptakan jarak.

Kritik terhadap humor yang tidak tepat lebih dari sekadar serangan pribadi, ini adalah panggilan untuk bijaksana dalam berkomunikasi. Setiap kata membawa dampak, dan bagi figur publik, tanggung jawab moral sangat besar. Humor yang tidak bijaksana bisa membentuk pandangan sosial yang lebih luas, dan itulah yang harus selalu dipertimbangkan dalam setiap ucapan.

Pelajaran Moral dari Insiden Ini

Insiden ini mengajarkan kita pentingnya empati dalam setiap interaksi. Humor, meskipun dimaksudkan untuk mencairkan suasana, harus tetap menghargai martabat orang lain. Lelucon yang merendahkan, meski terlihat ringan, dapat memperburuk hubungan dan menciptakan jarak di antara kita.

Dalam dakwah, adab dan kesantunan jauh lebih penting daripada lelucon yang menyakiti perasaan. Dakwah sejati adalah tentang mengedepankan rasa hormat dan persaudaraan, bukan sekadar membuat orang tertawa.

Akhlak Berbicara di Era Digital

Kejadian ini mengingatkan kita untuk lebih berhati-hati dalam berbicara, terutama di era digital yang serba cepat. Setiap kata yang diucapkan, apalagi oleh figur publik, dapat tersebar luas dan membawa dampak besar.

Akhlak dalam berbicara harus menjadi dasar utama mencintai sesama, menghindari penghinaan, dan selalu menjaga kesantunan. Dalam dakwah, kata-kata kita harus mencerminkan kasih dan kedamaian, bukan sekadar membuat orang tertawa.

Di dunia yang terhubung ini, mari kita berbicara dengan penuh tanggung jawab, memahami dampak sosial dari setiap ucapan, dan menjaga nilai-nilai luhur yang membawa kita pada kehidupan yang lebih harmonis.***

Tentang Penulis:

BUNG EKO SUPRIATNO
Akademisi, Santri, dan Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content ini dilindungi.....!!!!