Img 20250529 wa0014

MediaSuaraRakyat.com – Indramayu | Nasib para petani di Desa Soge dan Cibiuk, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, kian memprihatinkan. Di tengah musim panen yang seharusnya membawa harapan, harga gabah justru terjun bebas. Petani lokal pun dibuat kelimpungan karena tengkulak sepi dan kebijakan pembelian Bulog yang dianggap menyulitkan. Situasi ini memicu kegelisahan luas di kalangan petani yang mengandalkan hasil panen sebagai sumber utama penghidupan.

Seorang petani yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan keresahannya. Ia menyatakan bahwa harga gabah sempat mencapai Rp. 710 per kintal, yang sempat memberikan secercah harapan bagi petani. Namun, sejak beberapa hari terakhir, harga kembali melemah drastis. “Per hari ini harga melemah,Dan sekarang gak ada bakul (pengepul) yang mau nyerap. Mungkin karena daya beli mitra atau tengkulak sudah menurun,” tuturnya.

Persoalan makin pelik karena kebijakan Bulog yang menetapkan standar rendemen minimal 5,3 persen, dinilai terlalu tinggi oleh bakul dan mitra. Dalam praktiknya, banyak bakul dan mitra di lapangan tidak mampu memenuhi standar tersebut di karena biaya produksi yang sudah sangat tinggi.

“Kalau dipaksakan harus 5,3 persen, kemungkinan bakul / penggiling enggak akan bisa mengisi Bulog,Karena modalnya sudah terlalu tinggi.Oleh karena itu bakul / penggiling terpaksa menjual ke pasaran, hingga terjadi penumpukan barang di pasar dan mengakibatkan turunnya harga beras.Hal ini yang berdampak kepada petani dan harga gabah di lapangan menurun.

Akibat kebijakan tersebut, sejumlah mitra Bulog menghentikan penyerapan gabah dari petani,Ini memperburuk kondisi,karena petani tidak punya pilihan saluran distribusi lain. “Keluhan saat ini, Di karenakan sebagian mitra berhenti menyerap.

Kami petani susah jual gabah ke siapa, jika bakul dan mitra bulog berhenti menyerap” tambahnya.

Ketidakpastian pasar ini memperlihatkan kerentanan sistem pertanian kita, terutama ketika institusi negara seperti Bulog tak mampu menyeimbangkan antara regulasi dan kenyataan di lapangan.

Mitra berharap agar Bulog tidak sekadar menetapkan angka tanpa mempertimbangkan dampak kepada petani dan mitranya.

“Bulog tetap harus menyerap gabah, supaya bisa stabilisasi harga pangan. dan menjadi penengah atas ke tidak pastian harga dilapangan” ujarnya dengan nada kecewa.

Situasi di wilayah Soge dan Cibiuk ini mencerminkan kegagalan komunikasi dan koordinasi antara lembaga negara dan pelaku usaha lapangan. Ketika mitra enggan menyerap, dan harga anjlok, petani-lah yang jadi korban utama.

Beberapa petani bahkan mengaku kecewa atas melemahnya penyerapan gabah di lapangan.

Harapan pun kembali disampaikan kepada Bulog agar menyesuaikan dan membuka kembali keran penyerapan dan men stabilkan harga di lapangan.

Mereka ingin Bulog tetap menjalankan fungsinya sebagai stabilisator harga pangan nasional, sampai dengan kebijakan yang berpihak dan realistis.

“Harapan kami, Bulog bisa terus menyerap sampai akhir masa panen,” ujar petani dari Cibiuk.

Tanpa langkah cepat dan konkret, masalah ini dikhawatirkan bakal meluas ke daerah lain di Indramayu dan Jawa Barat. Pemerintah pusat pun didesak untuk segera turun tangan mengoreksi kebijakan teknis Bulog, sebelum musim panen berikutnya berubah menjadi musim nestapa. Petani sudah cukup sabar, kini saatnya kebijakan yang berpihak.

(Heryanto)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content ini dilindungi.....!!!!