Img 20250529 wa0014

MediaSuaraRakyat.com – Indramayu | Nasib para petani di Desa Soge dan Cibiuk, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, kian memprihatinkan. Di tengah musim panen yang seharusnya membawa harapan, harga gabah justru terjun bebas. Petani lokal pun dibuat kelimpungan karena tengkulak sepi dan kebijakan pembelian Bulog yang dianggap menyulitkan. Situasi ini memicu kegelisahan luas di kalangan petani yang mengandalkan hasil panen sebagai sumber utama penghidupan.

Seorang petani”yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan keresahannya. Ia menyatakan bahwa harga gabah sempat mencapai Rp. 7100 per kg yang sempat memberikan secercah harapan bagi petani. Namun, sejak beberapa hari terakhir, harga kembali melemah drastis. “Per hari ini harga melemah, panen juga susah, dan sekarang gak ada bakul (pengepul) yang mau nyerap. Mungkin karena daya beli mitra atau tengkulak sudah menurun,” tuturnya. Pada Rabu 28 Mei 2025

Persoalan makin pelik karena kebijakan Bulog yang menetapkan standar rendemen minimal 5,3 %, dinilai terlalu tinggi oleh petani dan mitra. Dalam praktiknya, banyak petani di lapangan tidak mampu memenuhi standar tersebut karena biaya produksi yang sudah sangat tinggi.

“Kalau dipaksakan harus 5,3 %, kami petani enggak akan bisa isi Bulog. Modalnya udah tinggi, enggak ketemu sama harga jual,” keluh sang petani.

Akibat kebijakan tersebut, sejumlah mitra menghentikan penyerapan gabah dari petani. Ini memperburuk kondisi karena petani tidak punya pilihan saluran distribusi lain. “Keluhan saat ini, sebagian mitra berhenti menyerap.

Kami petani susah jual gabah ke siapa, karena bakul dan mitra Bulog enggak sanggup menanggung beban rendemen tinggi,” tambahnya.

Ketidakpastian pasar ini memperlihatkan kerentanan sistem pertanian kita, terutama ketika institusi negara seperti Bulog tak mampu menyeimbangkan antara regulasi dan kenyataan di lapangan.

Petani berharap agar Bulog tidak sekadar menetapkan angka tanpa mempertimbangkan kemampuan petani dan mitranya.

“Bulog tetap harus menyerap gabah, supaya bisa stabilisasi harga pangan. Tapi jangan asal naikin rendemen, kalau di lapangan malah enggak sesuai,” ujarnya dengan nada kecewa.

Situasi di wilayah Soge dan Cibiuk ini mencerminkan kegagalan komunikasi dan koordinasi antara lembaga negara dan pelaku lapangan. Ketika mitra enggan menyerap, dan harga anjlok, petani-lah yang jadi korban utama.

Harapan pun kembali disampaikan para petani kepada Bulog agar menyesuaikan kembali standar rendemen dan membuka kembali keran penyerapan dengan harga yang layak.

Mereka ingin Bulog tetap menjalankan fungsinya sebagai stabilisator harga dan stok pangan nasional, namun dengan kebijakan yang berpihak dan realistis.

“Harapan kami, Bulog bisa terus menyerap sampai akhir masa panen,” ujar petani dari Cibiuk.

Tanpa langkah cepat dan konkret, masalah ini dikhawatirkan bakal meluas ke daerah lain di Indramayu dan Jawa Barat. Pemerintah pusat pun didesak untuk segera turun tangan mengoreksi kebijakan teknis Bulog, sebelum musim panen berikutnya berubah menjadi musim nestapa. Petani sudah cukup sabar, kini saatnya kebijakan yang berpihak.

(Heryanto)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content ini dilindungi.....!!!!