Img 20251031 wa0059

Oleh:Ocit Abdurrosyid Siddiq
Pengamat Media dan Kebijakan Publik

Pekan kemarin, beredar viral potongan video yang menggambarkan dua orang sedang berbincang tentang penghasilan seorang Kepala Daerah yang dinilai sangat besar. Cuan itu bersumber dari insentif, di luar gaji pokok dan tunjangan. Video itu disertai caption “ternyata”, yang seolah menggambarkan rasa kaget karena seolah baru tahu.

Mestinya sih tidak begitu. Mengapa? Karena kebijakan itu sudah berlangsung sejak lama. Sejak tahun 2010, ketika negeri ini dipimpin oleh SBY. Mengapa bagi sebagian orang baru tahu saat ini? Mari kita cacahan. Jangan lupa uyup kopi dan huap gogodohnya!


Jadi Kepala Daerah itu -Gubernur, Bupati, Walikota- enak. Enak karena selama menduduki singgasana mendapatkan penghasilan yang sangat besar. Penghasilan itu, selain gaji pokok, berbagai tunjangan, juga insentif. Insentif yang diterima secara intensif.

Benar, Kepala Daerah juga mendapatkan tambahan penghasilan dari insentif. Jadi, bukan hanya guru honorer saja ya yang mendapatkan insentif. Cuma jangan disamakan antara insentif untuk guru dengan insentif yang didapatkan oleh Gubernur. Walaupun sama-sama intensif.

Kan kelasnya juga berbeda. Kalau insentif untuk guru honorer hanya cukup untuk bernafas selama satu pekan pertama, sementara insentif bagi Gubernur mah cukup untuk diwariskan hingga 7 turunan. Lho, koq gede amat? Insentif dari mana? Uyup heula kopina!

Jadi begini, Mang!

Ada peraturan pemerintah berupa PP Nomor 69 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Itu PP disahkan pada tahun 2010. Anda ingat, siapa Presiden saat itu? Ya, SBY.

Dalam PP tersebut disebutkan bahwa insentif adalah tambahan penghasilan yang diberikan sebagai penghargaan atas kinerja tertentu dalam melaksanakan pemungutan pajak dan retribusi.

Pemerintah Daerah itu meliputi gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Perangkat daerah dimaksud misalnya Bapenda dan Samsat. Makanya banyak yang ingin jadi kepala Samsat, hehe..

Pajak merupakan kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan, lembaga, atau institusi.

Pemungutan merupakan rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak atau retribusi, penentuan besarnya pajak atau retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.

Nah, Gubernur itu mendapatkan tambahan penghasailan di luar gaji dan tunjangan, berupa insentif tersebut. Berapa besarnya? Ya tergantung. Tergantung apa? Tergantung besarnya pendapatan pajak di daerahnya.

Jadi, kalau beberapa waktu lalu Gubernur memutihkan pajak kendaraan tahun-tahun sebelumnya dan karenanya banyak warga bayar pajak sehingga pemasukan menjadi lebih besar bagi daerah, maka Gubernur pun mendapatkan prosentase yang gede pula? La iya lah. Kaharti Mang? Huapkeun heula gogodohna!

Tapi, penetapan berapa bagian Gubernur itu mesti mempertimbangkan kepatutan, kewajaran, dan rayang disesuaikan dengan besarnya tanggung jawab, kebutuhan, serta karakteristik dan kondisi objektif daerah.

Artinya, kalau suatu daerah dikenal basah, maka dianggap wajar bila insentif untuk Gubernur juga berlimpah. Sebaliknya, bila di suatu daerah miskin sumber daya dan miskin jasa, ya enggak wajar lah kalau Gubernur minta jatah seperti daerah lain yang basah.

Buat apa insentif diberikan? Maksudnya sih untuk meningkatkan kinerja instansi, meningkatkan semangat kerja bagi pejabat atau pegawai Instansi, meningkatkan pendapatan daerah, dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bagus kan..?

Kapan penetapan besaran insentif itu dilakukan dan siapa yang melakukan? Pastinya tidak dilakukan secara tiba-tiba dan tidak dadakan. Mengapa? Karena pajak, retribusi, dan insentif bukan tahu bulat yang digoreng dan dimakan selagi pangah kengeh! Hehe..

Besaran insentif itu ditetapkan jauh-jauh hari, yaitu dua tahun sebelum diterima. Tepatnya dimulai dalam proses perencanaan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau APBD. Siapa yang menetapkan? Ya Gubernur dengan wakil kita, anggota dewan yang terhormat itu.

Apakah antara Gubernur dengan DPRD bisa kongkalingkong atau tahu sama tahu? Ya bisa, karena kalau tahu sama tempe itu akan beda harganya. Tapi, mereka enggak bisa sembarangan menetapkan. Itulah mengapa ada PP tersebut.

Dalam PP itu disebutkan bahwa besaran insentif ditetapkan paling tinggi 3% untuk provinsi, dan 5% untuk kabupaten atau kota, dari rencana penerimaan pajak dan retribusi dalam tahun anggaran berkenaan untuk tiap jenis pajak dan retribusi. Ingat, dari rencana penerimaan ya. Bukan dari hasil pendapatan.

Artinya, bila sebuah daerah -baik provinsi maupun kabupaten juga kota- berhasil menggenjot -wuih kayak lagi senggama saja ya- menaikkan pajak, maka insentif yang didapatkan oleh kepala daerah juga naik. Naik jumlahnya, bukan naik prosentasenya.

Lalu, di luar ketentuan besaran prosentase tersebut, apakah ada ketentuan khusus bagi para calon penerima insentif, sebagai wujud apresiasi atas kinerja mereka yang dinilai berhasil menaikkan pendapatan pajak dan retribusi?

Eit, nanti dulu. Kita mesti pilah. Kalau berhasil menaikkan pendapatan pajak, itu prestasi. Tapi kalau menaikkan pajak, eta mah nyekek. Ya mencekik leher. Leher rakyat. Hal ini seperti terjadi beberapa waktu lalu, ketika para Kepala Daerah ramai-ramai menaikkan pajak.

Sejatinya, para Kepala Daerah yang menaikkan berbagai pajak tersebut, bukan semata-mata untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah atau PAD bagi pembiayaan operasional dan pembiayaan pembangunan infrastruktur. Saya yakin, bukan juga hanya untuk mendapatkan prosentase jatah itu.

Bagi saya, fenomena Kepala Daerah yang secara berjamaah menaikkan tarif berbagai pajak tersebut -dari pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan, pajak tanah air eh air tanah, hingga pajak bernafas bila perlu- adalah wujud ketidakmampuan. Jauh banget dengan janji muluk saat kampanye dan debat calon kandidat di layar kaca yang riuh oleh keprok para pendukung.

Ketika seorang Kepala Daerah tidak mampu memenuhi janjinya, karena berbagai hal -bisa jadi karena kurang kompetensi dan tidak bisa berinovasi- mereka kemudian gelap mata. Poek deuleu atau kapoekan. Akhirnya, yang bisa dilakukan adalah menaikkan pajak.

Seorang pejabat di salah satu kabupaten di Provinsi Banten sampai “sesumbar” mengatakan bahwa “jangankan berlian, sampah pun ketika jadi cuan, kita ambil”. Sebuah pernyataan bernada sasapaan yang menunjukkan situasi poek deuleu itu.

Kembali ke persoalan teknis. Berapa besaran insentif yang diterima di luar aturan prosentase tersebut. Bila pembaca mau berpusing-pusing dengan angka, kira-kira begini perhitungannya.

Besaran insentif untuk setiap bulannya dikelompokkan berdasarkan realisasi penerimaan pajak dan retribusi tahun anggaran sebelumnya. Kalau di bawah Rp. 1.000.000.000.000,00 -bingung kan bacanya saking banyak nolnya- paling tinggi 6 kali gaji pokok dan tunjangan yang melekat.

Kalau Rp.1.000.000.000.000,00 sampai dengan Rp.2.500.000.000.000,00 paling tinggi 7 tujuh kali gaji pokok dan tunjangan yang melekat. Bila di atas Rp.2.500.000.000.000,00 sampai dengan Rp.7.500.000.000.000,00 paling tinggi 8 kali gaji pokok dan tunjangan yang melekat.

Dan andai di atas Rp.7.500.000.000.000,00 paling tinggi 10 kali gaji pokok dan tunjangan yang melekat. Gaji pokoknya berapa, kalikan saja. Ini kita lagi ngomongin duit siapa ya. Ini kita comel amat ya ngitungan gaji dan penghasilan orang. Hehe..

Terus, insentif itu kapan bisa mereka terima? Menurut ketentuan, bila telah mencapai target, maka upah mereka akan dihitung dan dibayarkan tahun berikutnya. Jadi, tahun ini kerja keras, tahun depan mereka tinggal kipas-kipas. Hareudang ku duit!

Di tahun ini, Gubernur Banten Andra Soni menerapkan aturan pemutihan pajak kendaraan bermotor untuk tahun-tahun sebelumnya. Warga berbondong-bondong bayar pajak. Meungpeung ada pengampunan. Tiap hari warga ngantai di kantor Samsat.

Pastinya, tahun ini pendapatan pemerintah Provinsi Banten dari pajak kendaraan bermotor berlimpah. Pemprov Banten lagi banyak duit. Semoga saja pemanfaatannya bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Misalnya untuk pendidikan, seperti Program Sekolah Gratis atau PSG, dan peningkatan kesejahteraan guru, khususnya guru swasta, lewat insentif. Untuk kesehatan, misalnya memperbanyak pembangunan Puskesmas dan rumah sakit, dan yang lainnya.

Jangan lupa, dalam penggunaan dana yang bersumber dari rakyat itu, dilakukan dengan prinsip adil, merata, dan yang paling penting adalah tidak dikorupsi. Sebagaimana jargon pasangan Andra Soni-Dimyati sebelum mereka terpilih.

By the way, ku sabab kitu, bila tahun ini pemerintah Provinsi Banten mendapatkan penghasilan berlimpah dari berbagai pungutan pajak, khususnya pajak kendaraan bermotor, maka bisa dihitung berapa insentif yang diterima Gubernur.

Karenanya, atas beredarnya video yang menayangkan perbincangan tentang besarnya penghasilan Kepala Daerah dari insentif tersebab berhasil mengumpulkan pajak ini, enggak usah aneh. Apalagi merasa kaget dengan “ternyata”. Wong PP nya sudah mengatur sejak tahun 2010. Lima belas tahun yang lalu!

Tak terasa, gogodoh beak, kopi hitam tinggal dedeknya. Ledis!


Penulis adalah Pengurus ICMI Orwil Banten, Ketua Bidang Kaderisasi Pengurus Besar Mathlaul Anwar

Asep Ucu Banten

By Asep Ucu Banten

Siapapun bisa menjadi apapun

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content ini dilindungi.....!!!!